Salah seorang krama desa menari saat Ngigel Desa di Desa Adat Nagasepaha, Buleleng, Sabtu (30/9). (BP/yud)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Sejumlah krama Desa Melinggih di Desa Nagasepaha berbusana berbeda dibandingkan krama desa lainnya, Sabtu (30/9). Busana dikenakan selayaknya pakaian penari dengan riasan dan kreasi tersendiri.

Krama Desa Melinggih ini akan menari di Pura Desa, Desa Nagasepaha usai pelaksanaan piodalan. Mereka menyebutnya Ngigel Desa.

Secara turun temurun, warga Desa Nagasepaha rutin melaksanakan tradisi ini. Pelaksanaan tradisi ini dianggap sebagai wujud syukur atas pelaksanaan piodalan di Pura Kahyangan Tiga Desa Nagasepaha yang dilaksanakan pada Purnama sasih kapat kemarin.

Diiringi tetabuhan tua khas Desa Nagasepaha, mereka menari di hadapan ribuan krama Desa Nagasepaha. Ada yang menari dengan serius, bahkan ada pula beberapa penari yang mengundang gelak tawa.

Panitia Karya memberikan waktu kurang lebih 5 menit untuk menari. Sebagai tanda sudah dilaksanakan sesolahan, para penari diwajibkan menyentuh api damar yang diletakkan di Madya Mandala.

Baca juga:  Gender Wayang Diminati Anak-anak, Belajar dari TK

Salah satu Krama Melinggih, Made Alit Budiarta menjelaskan, sebagai krama Desa Melinggih yang baru, hal ini merupakan suatu tantangan dan tradisi yang wajib dilaksanakan. Bahkan menurut Alit, pelaksanaan Ngigel Desa ini sebagai uji mental krama untuk tampil di hadapan masyarakat banyak.

Pihaknya pun sudah mempersiapkan dari jauh-jauh hari sarana dan prasarana ngigel, termasuk sempat berlatih menari agar gerakan tidak terlihat kaku. “Ini merupakan tantangan dan tradisi yang wajib kami laksanakan. Persiapan sudah sebelum odalan, baik itu keris hingga busana tetarian. Bahkan sempat pula berlatih menari,” terangnya.

Pihaknya pun merasa sangat senang bisa melestarikan drestha yang diwariskan leluhur secara turun temurun. “Sebagai krama, kami pasti bersemangat dan bergembira melaksanakan kegiatan, untuk meningkatkan rasa persatuan dan persatuan dengan sesama krama desa adat,” pungkasnya.

Baca juga:  BPN Tuntas Ukur Tanah Warga Terkena Proyek Jalan Singaraja-Mengwitani

Sementara itu, Penglisir Desa, Jro Wayan Awina mengungkapkan, krama Melinggih yang mesesolah kali ini dilaksanakan secara spontan. Hal ini tidak terlepas dari tradisi yang digelar tiap dua tahun sekali.

Bahkan menurut Awina, sudah menjadi kewajiban bagi krama desa, tidak hanya Desa Melinggih untuk bisa ngayah mesesolahan Ngigel Desa, termasuk duduk di Bale Panjang.

“Wajib hukumnya bagi krama desa untuk duduk di Bale Panjang. Ini juga nantinya akan diteruskan oleh generasi muda, bagaimana generasi ke depan tetap ajeg, lestari dan terjaga,” pungkasnya.

Sementara itu, Kelian Desa Adat Nagasepaha, Jro Mangku Made Darsana menjelaskan pelaksanaan Ngigel Desa biasanya dilaksanakan pada Wayonan atau sehari menjelang puncak piodalan. Tradisi yang ada sejak dahulu ini sebagai wujud syukur atas pelaksanaan Pujawali di Pura Kahyangan Tiga, Desa Nagasepaha.

Baca juga:  Tradisi Mejurag Nasi Takepan, Sebagai Wujud Syukur Menjelang Nyepi Desa

“Sesolahan ini sebagai wujud syukur atas pelaksanaan pujawali di Pura Kahyangan Tiga yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Ini wajib dilaksanakan bagi krama desa negak untuk mesesolahan,” terangnya.

Menurut Darsana, rangkaian Ngigel Desa ini diawali dengan mendak para penari di balai banjar oleh Krama Saye yang diiringi dengan tetabuhan baleganjur. Para Krama Negak ini dipendak untuk menuju Bale Panjang yang terletak di Pura Desa.

“Ketika krama desa sudah duduk di balai panjang, tidak boleh kemana-kemana lagi. Kebutuhan saat duduk di Balai Panjang akan dilayani oleh krama saye. Sebelum mereka masesolah, mereka wajib hukumnya ngaturang persembahyangan,” katanya. (Nyoman Yudha/balipost)

BAGIKAN