Sejumlah patung karya Putrayasa berada di art space miliknya. (BP/lun)

DENPASAR, BALIPOST.com – Apresiasi karya seni patung mulai membaik belakangan ini. Pasca-pandemi Covid-19, animo pecinta seni mengapresiasi karya tiga dimensi tersebut, lumayan tinggi. Kondisi baik itu juga dipengaruhi oleh ‘‘medan sosial’’ masyarakat kekinian yang selalu terhubung dengan dunia maya.

Kabar gembira tersebut disampaikan seniman I Ketut Putrayasa. Pada era baru saat ini, kata lulusan ISI Denpasar itu, ada kecenderungan masyarakat mengabadikan setiap peristiwa atau momen terkini melalui akun media sosial.

Dalam banyak momen, peristiwa yang diabadikan itu akan tampak menarik manakala ada ikon yang tersedia, salah satunya karya patung. Kehadiran patung memberikan value pada setiap momen yang diabadikan tersebut.

Baca juga:  Warga Australia Sambut Baik Pembukaan Pariwisata Bali, Puncaki Jumlah Kunjungan Wisman

Seniman asal Br. Tandeg, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Badung ini menjelaskan pemasaran patung memang sempat seret. Namun, para seniman mampu mensiasati kondisi tersebut dengan menghimpun energi yang cukup besar, kemudian melakukan lompatan untuk terus berkarya. Pihaknya meyakini, setiap peristiwa pasti ada masanya. Benar, ketika pandemi berlalu, pesanan karya pun kembali berdatangan.

Pemilik Rich Stone Art Space ini menyebut selama ini pihaknya memiliki beberapa segmen dalam memasarkan karyanya yaitu kelas bawah, menengah dan atas. Dalam berkesenian, subsidi silang pun dilakukan. Terlebih melibatkan artisan cukup banyak dalam berkarya, tentu memerlukan cost yang besar. Karya-karyanya pun dikoleksi untuk kepentingan beragam, baik untuk personal maupun dipajang di ruang publik.

Baca juga:  Seni Topeng, Aset Budaya Singapadu

Putrayasa menegaskan, ketika memilih jalur seni, seniman harus kreatif dan cerdas menangkap peluang yang tersedia. Sebab, berkesenian selalu menghadirkan ketidakmungkinan, berbeda dengan sains yang selalu pasti. Di sanalah dibutuhkan kreativitas dan cara pandang berbeda. Namun, kendala yang sering dihadapi seniman adalah terperangkap pada rutinitas, sehingga terjadi kemandulan kreativitas.

Dalam berkarya, suami Christiana Measari dan ayah I Gede Narendra Adyaputra ini, memiliki keberanian mengeskplorasi media. Media yang digunakan, tak hanya batu dan beton, tapi juga logam dan sebagainya. Keunikan karyanya, ia berani menghadirkan karakter kongkret sebuah media yang digunakan. Bahkan, kerangka patung, sekaligus dijadikan komponen artisitik dan estetik.

Baca juga:  Cegah Overtourism, Ini Solusi Dua Cawagub Bali di Debat Perdana

Baginya, patung yang bagus itu tak hanya menarik dari kulit luarnya saja, tetapi struktur dalamnya juga sekaligus sebagai elemen artistik dan estetik. Putrayasa juga tercatat melahirkan karya monumental yang sarat otokritik, seperti ‘’Giant Octopus’’ berbahan anyaman bambu pada Mei 2019 lalu.

Tak itu saja, pada masa pandemi Covid-19, Putrayasa juga membuat seni instalasi berjudul ‘’Pandora Paradise’’ pada Desember 2020. Karya instalasi berbahan akrilik dan bambu sintetis tersebut dipajang di titik nol kilometer Kota Denpasar. (Subrata/balipost)

BAGIKAN