Ni Nyoman Citta Maya Dewi, S.S., M.I.Kom. (BP/Istimewa)

Oleh Ni Nyoman Citta Maya Dewi, S.S., M.I.Kom.

Berkembangnya dinasti politik kerap menjadi pro-kontra. Secara umum, dinasti politik dipandang berpotensi memicu penyalahgunaan kekuasaan. Namun, di sisi lain juga berkembang pandangan bahwa adanya larangan bagi keluarga petahana atau penguasa untuk ikut serta dalam kontestasi politik merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan melanggar konstitusi warga negara.

Pro kontra terkait fenomena ini pun menjadi isu yang dipermainkan politisi. Apakah politik dinasti tetap dapat menjaga asas demokrasi di Indonesia atau justru menjadi supremasi bagi masyarakat?

Beberapa fenomena praktik politik dinasti yang pernah terjadi di dunia maupun di Indonesia diantaranya, keturunan Soekarno meneruskan profesinya sebagai politisi yaitu Megawati Soekarnoputri, Sukmawati, dan Guruh Soekarno. Fenomena dinasti politik juga terlihat dalam keluarga Gusdur (KH. Abdurrahman Wahid), yakni terjunnya saudara-saudara kandungnya, juga anaknya ke dalam dunia politik. Begitu juga Megawati Soekarnoputri dengan terlibat aktifnya Puan Maharani dalam perpolitikan di Indonesia hingga akhirnya menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Baca juga:  Media, Anak Muda dan G20

Pada keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun demikian. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Eddie Baskoro, Hartanto Edhie Wibowo, Agus Hermanto, Sartono Hutomo, Dwi Astuti Wulandari, dan Agung Budi Santosa merupakan sederatan keluarga SBY yang terjun dalam perpolitikan di Indonesia.

Berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2020 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2020, tidak ada syarat atau ketentuan yang melarang keluarga maupun kerabat dari presiden ataupun aparatur negara untuk mencalonkan diri menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, atau wali kota dan wakil wali kota.

Meskipun secara undang-undang tidak ada syarat atau ketentuan yang melarang pencalonan tersebut, namun ada sebuah etika politik yang harus menjadi pertimbangan dari fenomena politik dinasti tersebut. Etika adalah sesuatu yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai sesuatu yang baik dan yang buruk. Politik dinasti telah berkembang tidak hanya menghalalkan hak yang kebablasan dari tokoh elite dan oligarki demi kekuasaan, tapi juga menjadikan keturunan politik sebagai supremasi, kekuasaan tertinggi. Siapa yang bakal berani menolak anak seorang ketua partai sekaligus pendiri partai untuk ikut berkecimpung dalam perpolitikan bahkan menjadi calon yang diunggulkan dalam setiap pemilihan. Toh juga partai miliknya, anggota maupun kader hanya orang yang direkrut berdasarkan kemampuan dan kepentingan.

Baca juga:  Sadar Demokrasi Untuk Nyoblos 27 Juni 2018

Djoni Gunanto dalam jurnalnya Tinjauan Kritis Politik Dinasti di Indonesia menyebutkan demokrasi sejatinya harus membuka kran politik seluas mungkin untuk memastikan rakyat terlibat aktif dalam proses politik. Ruang partisipasi untuk masyarakat dalam kontestasi politik regional hingga nasional harusnya sangat terbuka.

Namun faktanya, dengan fenomena politik dinasti telah menghambat keterlibatan masyarakat karena status atau hak sosial yang berbeda dengan keluarga politikus. Politik dinasti menodai makna demokrasi, yakni kekuasaan politik atau pemerintahan yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Baca juga:  Pers Diharapkan Berperan Aktif Berkontribusi Mendorong Demokrasi

Gun Gun Heryanto dalam bukunya Panggung Komunikasi Politik: Dilema Antara Idealitas dan Realitas Politik (2019) menyebutkan, otonomi kehendak bersumber dari kesadaran internal seseorang untuk menaati norma moral atas kesadarannya sendiri. Sementara heteronomi kehendak adalah sumber moral palsu, artinya, kesadarannya bukan bersifat internal dalam diri seseorang, tetapi karena ada aturan yang mengharuskan.

Meski belum ada aturan hukum yang sah terkait larangan mencalonkan kerabat dari pemimpin sebelumnya namun secara etika, politik dinasti telah mencederai asas demokrasi yang terbangun di negeri ini. Walaupun pascakemerdekaan, politik dinasti telah mulai dipraktekkan, namun seiring literasi politik masyarakat yang meningkat, timbul kesadaran politik untuk bebas dan merdeka memilih calon pemimpinnya.

Politik dinasti bisa menjadi wahana untuk maju dalam bursa pencalonan namun belum tentu mampu memenangkan hati rakyat. Semuanya tergantung dari upaya lain yang dilakukan selain mengandalkan nama besar keluarga para calon.

Penulis, Wartawan Bali Post

BAGIKAN