Aktivitas penyeberangan di Danau Batur. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Danau Batur merupakan sumber air bagi sebagian besar tanah Bali. Sayangnya, kini kondisi danau yang memiliki luas 16 kilometer persegi ini, sama seperti danau-danau lainnya di Bali dalam kondisi rusak.

Guru besar pertanian Universitas Udayang Prof. Dr. Ir. Ni Luh Kartini, M.S., Minggu (15/10) menyampaikan kondisi danau di Bali cukup mengkhawatirkan. “Danau kita berada terkungkung, semua mendapatkan dari lingkungannya sehingga jika ada hujan, barulah danau mendapat air,” ujarnya.

Ditambah kualitas air danau menurun, sedimentasi tinggi. Maka dari itu area penangkapan air di sekitar danau harus benar-benar dijaga. Berdasarkan data Pusat Pengendalian Pembangungan Ekoregion (P3E) Bali Nusa Tenggara menyebutkan, kerusakan danau terjadi 85% karena aktivitas pertanian di sekitar danau dan 15% disebabkan keramba dan limbah dari rumah tangga.

Kontur Danau Batur memiliki kemiringan ke arah barat. Hal ini menjadikan air danau terluas di Bali ini mengairi
subak yang ada di Gianyar, Klungkung san Bangli. Sementara air yang mengalir dari bawah tanah juga menjadi mata air bagi Sungai Ayung. Dengan demikian,
sejumlah subak di Badung dan Denpasar ikut menikmati air Danau Batur.

Baca juga:  Fenomena Kabut Selimuti Beberapa Pantai di Bali, Ini Penyebabnya

Diperkirakan setidaknya ada 330 subak di Bali diairi Danau Batur. Selain itu, mata air di Bali juga banyak bersumber dari danau yang menampung 753,67 juta meter kubik air ini.

Demikian besarnya peran dari Danau Batur menjadi sumber air sehingga tidak berlebihan jika danau yang memiliki luas sekitar 16 kilometer persegi ini disebut sebagai Tower Air-nya tanah Bali. Sayangnya, kondisi Danau Batur kini kritis.

Tingkat pencemaran dan sedimentasinya tinggi. Tahun 2019 lalu, kategori pencemaran kelas II yang berarti tidak layak konsumsi. Sementara laju sedimentasi mencapai sekitar 1.587 meter kubik per tahun. Jika tidak diselamatkan, Danau Batur akan alami pendangkalan dan mengering.

Bali pulau kecil menurutnya sangat rentan kehilangan air. Bali punya 4 danau untuk towernya, hendaknya dipelihara. Pembangunan yang dilakukan di danau harus sesuai dengan tata ruang dan zonasi. “Kalau sampai danau itu, Batur, Tamblingan, Buyan, Beratan tidak bisa mengeluarkan air, bermasalah, maka kita tidak dapat air, karena sumbernya dari situ,” ungkapnya.

Baca juga:  Naik Seribuan Kasus, Tambahan Warga Terjangkit COVID-19 Nasional di Atas 6.200

Menurutnya, Bali harus memiliki tata ruang yang konsisten, ketat, dan harus tegas. Pemda disarankan untuk moratorium pembangunan, pelihara yang sudah ada, inventarisasi tanaman besar.

“Bagaimana supaya tidak menebang karena tanaman besar itulah yang sangat tinggi berkontribusi terhadap penyerapan CO2 dan pemegang air tanah, kembalikan kebun kopi di pegunungan mungkin dengan insentif.  Kalau mau Bali masih punya air ya.. harus dijaga karena sejak 2011, Bali mengalami defisit air. Jika melihat petanya, hanya Bangli, Kintamani yang masih hijau sedangkan daerah lainnya yang lain kuning bahkan merah,” ujarnya.

Berdasarkan Bhisama Batur Kalawasan disebutkan “Wahai anak -anakku, peliharalah gunung dan laut karena gunung adalah sumber air, tempat suci dan laut, tempat membuang kotoran sehingga bisa menetralisir bumi. Hiduplah di tengah – tengah dengan tanganmu sendiri. Kalau mau hidup Bahagia, harus bekerja. Jangan sekali – sekali kali hidup senang dengan merusak alam. Kalau merusak alam, dikutuk, kutukannya adalah mendapatkan kesengsaraan, tidak mendapat makan minum, sakit- sakitan dan berkelahi dengan sesama,” demikian disampaikan Kartini mengingat isi bhisama.

Baca juga:  KPU RI Tetapkan DPT Pemilu 2024

Bhisama tersebut berbanding terbalik dengan kehidupan di Bali saat ini, yang mana banyak yang hidup di pinggir laut, terjadi perusakan hutan, sistem pertanian yang dilakukan saat ini lebih banyak berorientasi merusak lingkungan dengan menggunakan bahan – bahan kimia.

Di sektirar mata air yang seharusnya menggunakan sistem pertanian organic karena tanah tidak kuat memegang air. Perubahan paradigma petani memandang tanah tidak lagi sebagai sumber kehidupan tapi menghasilkan setinggi-tingginya. Penggunaan bahan-bahan yang sangat mematikan keanekaragaman hayati.

“Ini yang menyebabkan kekeringan walaupun secara iklim makro mengalami saat ini mengalami el nino. Namun seharusnya Bali bisa memperbaiki iklim mikronya.  Sehingga dari sisi pemanasan global, di Bali tidak terlalu tinggi dampaknya. Jadi banyak faktor menyebabkan kekeringan. Pemanasan diakibatkan oleh terlalu tingginya CO2 tidak diimbangi dengan O2, ini yang menyebabkan pemanasan,” bebernya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN