DENPASAR, BALIPOST.com – Bali tidak sedang baik-baik saja. Kerusakan alam makin parah. Kerusakan hutan meluas, alih fungsi lahan semakin masif dan empat danau, penyuplai air bagi tanah Bali mengalami kerusakan. Perkembangan pariwisata yang liar nyaris tanpa kendali disinyalir menjadi salah satu penyebab. Bali berada pada dilema, manakah yang lebih menguntungkan antara memajukan pariwisata atau menjaga alam serta budaya Bali?
Ketua Warmadewa Research Cntre (WaRC) Dr. I Nyoman Gede Mahaputra menyebutkan bahwa pariwisata Bali terkesan berkembang liar karena selalu mengalami proses re-invent (menciptakan hal-hal baru). “Pariwisata Bali selalu mengalami proses re-invent, berusaha menciptakan hal-hal baru. Akibatnya, pengembangan sarana akomodasi pariwisata merambah kemana-mana,” ujarnya ditemui di Kampus Warmadewa Denpasar beberapa waktu lalu.
Seabad lebih pariwisata Bali, menurut Mahaputra, belum pernah jelas apa yang menjadi fokus pengembangan. Dulu, pengembangan pariwisata dilakukan pada daerah tertentu, misalnya Nusa Dua, Kuta, Sanur dan Ubud. Namun kini, berkembang kemana-mana, seolah-olah tanpa kontrol. Termasuk juga merambah ke kawasan hulu Bali.
Akademisi dari Universitas Udayana I Made Sudarma, Jumat (27/10) mengatakan, miris dengan kondisi yang terjadi sekarang ini. Apalagi pada iklim ekstrem yang terjadi saat ini, kekeringan, manusia berharap turun hujan. “Namun ketika hujan turun, apakah manusia siap menangkap air hujan dan menyimpannya untuk kehidupan selanjutnya? Sementara yang terjadi saat ini, hutan gundul semakin meluas, alih fungsi lahan semakin luas,” ujarnya.
Menurutnya, kita terlalu dininabobokkan dengan manisnya kue pariwisata, semua Sumber Daya Alam (SDA) bisa dieksploitasi atas nama pariwisata, pembangunan ekonomi, PAD, kesejahteraan masyarakat. “Tapi kita tidak pernah memperhitungkan berapa besar keuntungan dan kerugian yang ditimbulkan, tidak pernah kita lakukan secara fair,” ujarnya.
Mahaputra mengatakan pengembangan Pariwisata Bali perlu dilakukan berdasarkan basis data yang jelas. Terutama mengenai data seberapa besar manfaat yang didapat masyarakat Bali dari pariwisata yang ada sekarang. “Jangan-jangan selama ini keuntungan pariwisata hanya mengalir ke para pemodal besar yang bukan masyarakat Bali,” tegasnya.
Sementara itu, Sudarma mengatakan, dari bencana kekeringan saat ini dikatakan tidak berpengaruh terhadap kunjungan pariwisata karena kondisi cuaca merupakan masalah global. Pola pemikiran tersebut menurutnya yang perlu dikoreksi karena dengan melihat kekeringan saat ini seharusnya menjadi bahan introspeksi bagi semua orang.
“Yang bisa kita proteksi adalah rencana tata ruang RT/RW masing–masing daerah yang online dengan provinsi. Yang membedakan adalah di tataran implementasi, banyak daerah melalui peraturan bupati sudah dibuka dari semula kawasan pertanian atau perkebunan, setelah dibuka, menjadi pemukiman karena sudah padatnya daerah permukiman,” ungkanya.
Menurutnya, kuncinya adalah pada penegakan aturan di pemerintah. Penegakan peraturan harus menjadi yang utama. Karena jika dilakukan pembiaran cukup lama, yang seharusnya dipulihkan karena konsep tata ruang namun lama – kelamaan akibat terus berkembang terpaksa diputihkan. “Diputihkan itu pun dilakukan dengan melakukan penyesuaian tata ruang RDTR,” ujarnya. Dari penyesuaian itulah menjadi konsekuensi lahan produktif terus berkurang untuk pemukiman, dan eksploitasi lain juga akan berkembang.
Komitmen dari pemerintah yang bisa dilakukan adalah penegakan tata ruang, karena hanya itu yang menjadi pilar proteksi atas apa yang terjadi di Bali. “Yang merusak Bali jangan menyalahkan orang luar tapi orang Bali lah yang harus merefleksikan diri, tapi jangan membuat dalih ijin dari pusat dan sebagainya. Kalau kita punya komitmen yang kuat seharusnya itu bisa diminimalkan walaupun itu tidak mungkin dinolkan, paling tidak bisa diminimalkan,” ujarnya.
Namun karena banyak orang terlalu nikmat dengan kue-kue pariwisata, sehingga dibiarkan dan akhirnya diputihkan agar apa yang terjadi dilapangan tidak melanggar tata ruang sehingga terpaksa tata ruang menyesuaikan dengan kondisi di lapangan.”Kita lupa pariwisata memang nikmat tapi pariwisata kita adalah mengunggulkan alam budaya. Dan kita bangga dengan jumlah kunjungan wisata, semakin banyak kunjungan wisata, berarti eksploitasi terhadap pemanfaatan SDA semakin besar tapi apakah benefitnya yang kita dapatkan semakin besar atau stagnan atau malah menurun?” ujarnya. (Nyoman Winata/Citta Maya/balipost)