DENPASAR, BALIPOST.com – Dua orang terdakwa kasus OTT Jembatan Timbang di Kantor Unit Pelayanan Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) Desa Cekik, Jembrana, yaitu I Gusti Putu Nurbawa dan Ida Bagus Ratu Suputra, Senin (6/11) kembali dihadirkan di Pengadilan Tipikor Denpasar. Agenda sidangnya adalah mereka saling bersaksi sekaligus dimintai keterangan sebagai terdakwa.
Di hadapan majelis hakim yang diketuai Heriyanti dengan hakim anggota Nelson dan Soebekti, kedua terdakwa kompak mengaku diancam dan ditekan oleh korsatpel sehingga mau melakukan pungutan liar. Selain itu, terungkap juga adanya oknum polisi yang sering datang di jam berbeda di setiap shift pagi dan malam adalah dari PJR dan Shabara.
Di awal sidang, di hadapan JPU Nengah Astawa, Agung Gede Lee Wisnhu Diputera, dkk., para saksi sekaligus terdakwa mengakui kesalahannya melakukan pungutan. Sedangkan secara SOP, mestinya petugas melakukan penilangan terhadap kendaraan yang melanggar, salah satunya kelebihan tonase.
JPU dari Kejati Bali kemudian menanyakan dasar hukum melakukan pungutan tersebut. Kedua terdakwa kompak mengaku tidak ada aturan, namun mereka mangaku terancam oleh atasannya.
Ratu Suputra mengaku diancam diputus kontraknya jika tidak menuruti atasannya. Itu disampaikan pimpinannya saat melakukan rapat. Ancamannya seperti apa? “Kalau tidak mau, diancam tidak diperpanjang kontraknya,” jelas terdakwa.
Hasil pungutan itu kemudian dikumpulkan, salah satunya melalui Danru Rony Sugara kemudian pungutan itu diserahkan ke Korsatpel I Made Dwijati Arya Negara. Dan sisa dari yang diserahkan ke Korsatpel, terdakwa juga kebagian jatah. “Saya dikasih saya mau. Kadang Rp 50 ribu pun saya mau. Yang ngasih Danru,” jelas Ratu Suputra.
Sementara Nurbawa juga mengaku diancam. Dia membenarkan tidak ada dasar hukum pungutan sehingga dia mengakui kesalahannya.
Dia berdalih tidak berani melawan atasanya karena diancam. Salah satu ancamannya adalah terdakwa dipindah ke luar daerah seperti ke Aceh.
Ancaman lain dimutasi ke bagian TU. Terdakwa sendiri mengakui menerima uang secara pribadi dari Rony Sugara. Shift pagi kadang dapat Rp 100 ribu, malamnya bisa lebih mencapai Rp 150 ribu.
Anggota majelis hakim menanyakan soal koordinasi ke samping, yakni dari aparat kepolisian. Terdakwa mengaku ada dari PJR, ada pula dari Shabara. Datangnya di jam berbeda di setiap shift. Yang menerima oknum polisi itu adalah kepala regu.
“Apakah ada memberikan sesuatu?,” tanya hakim.
“Tidak tau yang mulia. Danru yang mengetahui,” ucap terdakwa.
Kuasa hukum terdakwa, Benny Hariono, Komang Sutama dkk., menyambung mempertanyakan apakah ada target pungli karena ada koordinasi ke instansi sampingan? Terdakwa sebut Danru yang mengetahui.
Yang jelas, terdakwa sering mendapatkan arahan yang salah satu arahannya sering disampaikan adalah tingkatkan pendapatan. “Tingkatkan pendapatan ke kas negara apa pribadi?” tanya Benny.
Terdakwa menyebut pendapatan pribadi. Sebelumnya, pihak Korsatpel mengakui adanya koordinasi ke samping. Di mana hasil pungli sebagian diberikan ke oknum aparat kepolisian. (Miasa/balipost)