Nyoman Sukamara. (BP/Istimewa)

Oleh Nyoman Sukamara

Seperti biasa menjelang pesta demokrasi, suhu politik meningkat. Jagat politik menyuguhkan banyak drama. Belum selesai cerita tentang kasus korupsi mantan Menteri Kominfo sekali gus sekjen salah satu partai politik, drama berlanjut dengan ditetapkannya mantan Menteri Pertanian yang juga seorang tokoh partai politik sebagai tersangka korupsi, dan uniknya dalam waktu hampir bersamaan kepolisian melakukan penyidikan kasus dugaan pemerasan oleh Firli Bahuri, Ketua KPK terhadap tersangka kasus korupsi tersebut. Kasus-kasus ini oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai politisasi hukum.

Masyarakat awam juga dikejutkan oleh berbagai manufer politik. Pendaftaran Prabowo dan Gibran sebagai pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) ketiga, serta merta menutupi kehebohan pendaftaran pasangan Capres-Cawapres pertama dan kedua. Kejutan bukan saja karena di luar perkiraan sebagian masyarakat, bahkan mungkin sebagian politikus, tetapi karena ada nuansa previlise yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu sebelumnya.

Terlepas dari kebenaran substansi hukumnya, drama-drama tersebut semakin menguatkan pertanyaan masyarakat tentang keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi dan penegakan hukum. Drama-drama ini, sejauh pemberitaan media, juga telah mempertontonkan ketiadaan etika publik sebagian pejabat publik, yang seharusnya dilakukan untuk menjaga kondusivitas masyarakat, termasuk dalam menyongsong hajatan nasional yang berpotensi memecah belah masyarakat, bangsa dan negara.

Baca juga:  Cak dan Janger Bukan Seni Keblinger

Sejarah dan takdir telah melahirkan pluralitas Indonesia. Pluralitas Indonesia berkaitan dengan keberagaman etnik dan geografi Indonesia dengan segala macam propertinya. Pluralitas Indonesia menjadi lebih rumit dengan adanya perbedaaan level pendidikan, sosial-ekonomi masyarakat dan semakin kompleks akibat perbedaan partai politik dan pilihan politik, bahkan berkembangnya politik identitas di masyarakat menjelang pesta demokrasi.

Kekuatan media informasi (termasuk media sosial) telah memanfaatkan pluralitas ini untuk membangun berbagai opini sesuai kepentingannya. Kondisi ini seharusnya dapat direspons sikap dan perilaku ASN dan Pejabat Publik untuk menjaga keutuhan bukan sebaliknya memecah belah keutuhan NKRI. Netralitas. Sayangnya netralitas sering hanya wacana menjelang pesta demokrasi. Sejatinya, netralitas, nondiskriminatif dan keadilan adalah sikap dan perilaku ASN dan Pejabat Publik dalam setiap pelaksanaan tugas-fungsi birokrasinya yang diwajibkan undang-undang.

Pasal 2 UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN menguraikan asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN di antaranya adalah netralitas, nondiskriminantif, keadilan dan kesetaraan. Sementara Pasal 4, menguraikan Nilai Dasar ASN antara lain memegang teguh Ideologi Pancasila dan menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak.

Baca juga:  Bawaslu Gianyar Petakan Kerawanan Pilkada, ASN Diminta Junjung Tinggi Netralitas

Siapakah Pejabat Publik? Pejabat Publik adalah pejabat yang diberikan wewenang oleh negara atau pemerintah untuk melakukan tugas dan wewenang negara yang melekat padanya. UU Nomor 289 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme menyebutkan bahwa Penyelenggara Negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Landasan etis pejabat publik di Indonesia adalah Moral Pancasila, yaitu sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Adies kadir, 2018).

Dalam setiap pelaksanaan tugasnya, ASN dan pejabat publik sebagaimana diuraikan di atas, seharusnya tunduk pada pasal-pasal tersebut, menunjukkan netralitas, nondiskriminatif, dan pada akhirnya memenuhi rasa keadilan bagi seluruh rakyat tanpa sekat-sekat pluralitas Indonesia, mulai dari menyusun sampai dengan implementasi kebijakan, bukan hanya dalam kaitan pesta demokrasi.

Etika publik adalah refleksi standar/norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah ke dalam bentuk perilaku, tindakan dan keputusan dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik. Dengan demikian, ASN dan pejabat publik, harus mampu berperilaku netral (tidak memihak), tidak diskriminatif (tidak membeda-bedakan) pelayanan atas dasar apa pun dan adil (memberikan pelayanan yang sama).

Baca juga:  Pembangunan Bali dan Era Revolusi Industri 4.0

Perilaku-perilaku ini gagal ditunjukkan dalam banyak kasus. Mulai dari yang sangat kasat mata, penampilan ASN dan pejabat publik yang hedon (di antaranya berujung pada kasus korupsi), sampai dengan korupsi yang nilai rupiahnya di luar nalar sebagian masyarakat di saat urusan beras masih menjadi persoalan bangsa. Juga netralitas dalam kasus pemerasan oleh Firli Bahuri dan juga dalam Keputusan MK tentang persyaratan Capres dan Cawapres, yang berujung pada dugaan pelanggaran etika.

Untuk mencapai tujuan-tujuan pelaksanaan tugas-fungsi, kemampuan perilaku etika publik ASN dan pejabat publik membutuhkan dukungan kemampuan leadership dan kemampuan teknis. Tanpa itu, etika publik bisa hanya menjadi pencitraan yang dibangun untuk kepentingan politik kelompok tertentu. Etika sesungguhnya adalah refleksi moral. Dengan demikian, kualitas perilaku etika publik ASN dan pejabat publik sangat bergantung pada willingness yang berakar pada moralitas seseorang.

Penulis, Widyaiswara BKPSDM Provinsi Bali

 

BAGIKAN