Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Menurut BMKG, El Nino merupakan fenomena pemanasan SML (Suhu Muka Laut) yang dapat meningkatkan suhu lebih tinggi dari biasanya, berakibat musim panas atau kemarau menjadi lebih panjang. Setidaknya sejak Juli sampai memasuki bulan November hujan tak kunjung turun.

Meski berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari modifikasi cuaca, rekayasa hujan hingga ritual doa permohonan, tampaknya Ista Dewata Indra sebagai Dewa hujan seperti enggan turun membasahi bumi. Bahkan Presiden Jokowi saat membuka Hydro Power Congress 2023, Selasa (31/10) menyebut bumi kita tengah sakit. Bumi sedang tak sehat akibat mengalami fase mendidih (BP, Kamis, 2/11).

Kali ini bumi memang terasa semakin panas, berimbas pada mudahnya terjadi kebakaran lahan: semak belukar, hutan, dan yang belakangan kian merebak, terbakarnya beberapa Tempat Pembuangan Akhir, termasuk TPA Suwung yang juga dilalap si jago merah sejak lebih dua minggu lalu, hingga ditutup sampai batas waktu tak menentu. Efek lanjutannya, pemerintah seperti tak berdaya menghadapi situasi darurat sampah yang tumpah ruah di banyak lokasi (di atas trotoar, mulut gang, lahan kosong, TPS, dll).

Baca juga:  Kebakaran TPA Suwung Belum Berhasil Ditangani, Lahan Kosong Berubah Jadi TPS

Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) yang sudah dibangun dengan maksud mengatasi persoalan sampah ternyata stagnan tak berfungsi. Tak terkecuali keberadaan Bank Sampah yang tersebar dimana-mana dan digadang-gadang dapat menjadi solusi jitu penanganan sampah ternyata tak juga mampu membantu.

Pemandangan kota pun menjadi kotor dan kumuh, jauh dari keindahan, kebersihan apalagi kesehatan. Konsep Hindu “Sauca” yang mengajarkan pentingnya manusia menjaga kebersihan (lahir-batin) belum menjadi inspirasi mewujudkan gaya hidup bersih dan sehat. Apalagi ajaran “Tri Hita Karana” yang acapkali “nungkalik” — berbalik menjadi “Tri Kite Karana”, masyarakat dengan santuy tanpa rasa bersalah “nganggoang kite” membuang sampah sembarangan: di saluran got, sungai, danau, laut, bukit, gunung bahkan di sekitar area suci Pura.

Lengkap sudah persoalan sampah yang awalnya urusan kecil, receh/remeh, sepele justru membuat kecele para pecinta hidup bersih dan sehat, serta pengagum keindahan lantaran ke arah mana mata memandang teronggok tumpukan sampah — kotor, bau, jorok, menjijikkan. Padahal merujuk kitab suci Atharwaweda VIII.2.25 dan VIII.7.10 dengan jelas dinyatakan : “Manusia dan makhluk hidup lainnya akan hidup dengan selamat apabila kebersihan armosfir dipelihara dengan sungguh-sungguh untuk menjaga tetap terpeliharanya kehidupan ; dan tumbuh-tumbuhan yang rindang dan hijau serta subur akan dapat membersihkan atmosfir yang kotor atau beracun”.

Baca juga:  Selama Mei 2021, BMKG Mencatat 161 Kali Gempa Bumi di NTT

Amanat kitab suci Hindu ini sebenarnya sejalan dengan wacana BCG (Bali Clean and Green) — pulau Bali bersih dan hijau, yang di waktu lalu sempat menggema dan membahana namun seiring pergantian kepemimpinan perlahan sunyi senyap. Sementara dengan kondisi darurat sampah yang semakin melimpah ruah, dikhawatirkan akan berubah menjadi “BCC” — Bali Compang Camping — kotor, kumuh dan jauh dari kata indah. Sampah yang sebenarnya bisa menjadi berkah, justru terus menjadi masalah yang entah kapan bisa enyah. Seakan kumpulan atau tumpukan berbagai macam limbah itu menjadi momok yang selalu menghantui kehidupan manusia dan lingkungannya. Tak terkecuali petinggi pemerintah seolah menyerah pasrah ketika berhadapan dengan persoalan sampah.

Baca juga:  Adaptasi Bencana Hidrometeorologi

Kalau saja mau belajar pada bait gending pupuh Ginada “Eda ngaden awak bisa, depang anake ngadanin, geginane buka nyampat, hilang luu buke katah, wyadin ririh liu enu paplajahan. Maka didapat suatu hikmah bahwa sebagai pemimpin jangan sekali-kali menilai diri sendiri itu bisa, mampu atau pintar. Biarkan masyarakat memberikan penilaian, sebab kehidupan ini tak bedanya dengan kegiatan menyapu. Kekotoran (sampah) tak akan pernah hilang (bersih).

Kalau pun tampak bersih sebenarnya masih tersisa debu-debu melekat selain beterbangan ke sana-sini. Karena itu sebagai pimpinan daerah, dari level bawah hingga tinggi, tidak boleh merasa pintar atau sukses sebelum berhasil mengatasi permasalahan sumir seperti halnya sampah. Sebab diluar sana ada persoalan “sampah-sampah” lainnya yang lebih mengancam integritas kepribadian bangsa seperti pungli, kolusi, gratifikasi, korupsi dan sejenisnya. Karena itu terkait masalah sampah ada dua opsi untuk para pemimpin: nyerah atau jadikan berkah, sebelum masyarakat menumpahkan sumpah serapah dan menilai “campah” — tak bisa dipercaya.

Penulis, Dosen Fak. Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN