John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

Kasus perundungan anak di Indonesia marak terjadi di tahun 2023 inidan menjadi ancaman bagi sektor pendidikan formal. Awal Oktober tahun ini, masyarakat dihebohkan oleh berita tentang seorang remaja bernisial MF (16) yang menganiaya bocah AR (8) hingga tewas di Kota Palu, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Ada juga kasus santri berusia 13 tahun yang dibakar seniornya di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, dan lagi kasus siswa SD berusia 11 tahun di Kabupaten Banyuwangi yang diduga bunuh diri akibat dirundung temannya.

Para pelaku kejahatan dan korban, semuanya masih berstatus murid sekolah. Bagaimana kita menyikapi fenomena yang mengkhawatirkan ini?

Faktor-faktor Penyebab

Dalam hemat penulis, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan timbulnya kekerasan di kalangan anak usia sekolah. Faktor-faktor itu dapat kita kategorikan sebagai faktor individual, faktor keluarga, faktor kelompok sebaya, faktor lingkungan sekolah dan faktor sosial. Pertama, faktor individual. Sifat dan pengalaman pribadi tertentu dapat meningkatkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan kejam.

Baca juga:  Potensi Pemanfaatan Obligasi Sosial

Kedua, faktor keluarga. Lingkungan keluarga memainkan peran penting dalam membentuk perilaku anak. Ketiga, faktor kelompok sebaya. Relasi kelompok sebaya memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku para siswa usia sekolah. Para siswa yang berasosiasi dengan kenakalan kelompok sebaya atau terlibat perundungan, cenderung melakukan kenakalan serupa.

Keempat, faktor-faktor lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah dapat menjadi pendorong atau pencegah kekerasan di kalangan murid sekolah. Faktor-faktor seperti kurangnya pengawasan, kurangnya kebijakan anti perundungan dan intervensi, lemahnya langkah-langkah pendisiplinan, kelas yang terlalu padat, dan
iklim sekolah yang negatif, semua itu dapat menciptakan suasana kondusif bagi timbulnya kekerasan.

Kelima, faktor-faktor sosial. Faktor-faktor sosial juga memainkan peran penting dalam membentuk perilaku murid. Terpaparnya berbagai pola kekerasan di media, termasuk video game, film, dan musik, dapat mengebalkan perasaan murid sekolah terhadap agresi dan kekerasan, serta dan menganggapnya sebagai
hal yang wajar.

Dampak dari kekerasan yang dilakukan anak usia sekolah berdampak sangat luas terhadap murid yang bersangkutan, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dampak kerugian fisik mencakup cedera ringan, cedera berat, bahkan kematian. Dampak psikologis, baik untuk korban maupun pelaku kejahatan, dapat berupa gangguan stres pascatrauma yang dikenal sebagai
(PTSD) kecemasan, depresi, turunnyaharga diri, kesulitan belajar, menarik diri dari lingkungan pergaulan, cenderung menyalahkan orang lain dan mengulangi per-
buatan kejam.

Baca juga:  BUMDesa dan Kontraksi Pertumbuhan Ekonomi

Adanya kekerasan di sekolah, dengan sendirinya menciptakan lingkungan belajar yang tak lagi kondusif bagi semua murid lain. Selanjutnya, kondisi ini menyebabkan tingkat kemangkiran semakin tinggi, prestasi akademik menurun, angka putus sekolah meningkat, dan secara keseluruhan menurunkan kualitas pendidikan kita.

Dampak jangka panjang dari kekerasan di kalangan siswa akan berlanjut hingga usia dewasa. Para pelaku kekerasan selama di sekolah cenderung melanjutkan perilaku semacam itu di kemudian hari. Mereka mudah terlibat dalam berbagai kejahatan dan terperangkap dalam lingkaran kekerasan.

Strategi Pencegahan

Mengatasi persoalan kekerasan di kalangan murid sekolah menuntut berbagai pendekatan, yang melibatkan semua pemangku kepentingan seperti orangtua, guru, pembuat kebijakan sekolah dan anggota masyarakat. Pertama, program intervensi dini. Artinya mengidentifikasi para siswa yang rentan terhadap perilaku kekerasan sejak dini, dengan melakukan intervensi, pencegahan terhadap terhadap eskalasi perilaku kekerasan bisa terjadi.

Baca juga:  Pesan Hilirisasi Budaya Mpu Tanakung

Kedua, menciptakan iklim sekolah yang positif. Sekolah harus mendorong lingkungan yang terbuka dan aman dengan menerapkan kebijakan anti perundungan, mendorong periaku positif, dan keterlibatan murid dalam proses pembuatan keputusan serta menyiapkan berbagai sumber daya yang memadai untuk mendukung kesehatan mental para murid.

Ketiga, kerja sama masyarakat. Kerja sama antara sekolah, keluarga, masyarakat, serta agen-agen penegak hukum dan berbagai organisasi masyarakat, sangat penting dalam mengatasi kekerasan di kalangan siswa. Langkah ini bisa melibatkan berbagai program pencegahan kekerasan yang berjangkau masyarakat, dan mendorong berbagai inisitatif pengembangan
kepribadian kaum muda.

Penulis, Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka, berdomisili di Yogyakarta

BAGIKAN