Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Gelaran karpet merah seakan menyambut para wisatawan yang berkunjung ke berbagai objek wisata di Indonesia. Setelah melewati sulitnya masa pandemi Covid-19, wisatawan memang diharapkan dapat membangkitkan perekonomian yang sedang terpuruk. Sehingga kadang berbagai pelanggaran ringan wisatawan di masyarakat dimaklumi.

Pada kelanjutannya, terjadi pelonggaran pengawasan atas kehadiran wisatawan dalam suatu lingkungan objek wisata. Semua dilakukan atas nama membangkitkan ekonomi masyarakat yang sedang menggeliat. Masyarakat lokal sedikit abai dalam melakukan kontrol sosial atas lingkungan kesehariannya.

Situasi ini nampaknya justru dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan siber dan buronan yang sedang menjadi target DPO (Daftar Pencarian Orang) pihak kepolisian/keamanan. Para pelaku kriminal ini melakukan perjalanan ke berbagai objek wisata.

Mereka menyaru seakan sebagai wisatawan yang sedang berlibur di suatu objek wisata. Terjadilah penyusupan oleh 88 orang warga negara China pelaku kejahatan love scamming (penipuan berkedok asmara) yang berhasil diungkap oleh pihak kepolisian di Komplek Cammo Industrial Park Simpang Kara, Kepulauan Riau. Polisi juga menangkap 42 warga negara China kawanannya yang bersembunyi di dua pulau terpencil di Batam.

Baca juga:  Yachter dari 24 Negara Diajak Ikuti Rutinitas Warga Menyali

Sementara di sebuah villa di kawasan Canggu, Badung, Bali, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri berhasil menangkap Dito Mahendra –buronan selama 4 bulan- yang telah masuk DPO dalam kasus kepemilikan senjata api ilegal. Kawasan objek wisata saat ini memang seakan menjadi area ideal bagi para kriminal untuk menyaru menjadi wisatawan.

Sisi gelap pariwisata memang acapkali menampilkan wajah abu-abu kelam industri pariwisata, di balik gemerlap pariwisata yang memang menjanjikan dampak ekonomi ikutan yang cukup panjang. Aneka kondisi sosial-budaya yang negatif memang acapkali berkelindan di sela beragam kegiatan pariwisata.

Situasi ini disadari para stakeholders bidang pariwisata. Kegiatan pariwisata tidak boleh ditumpangi oleh free-rider yang menyelinap guna kepentingan mereka sendiri. Mereka menyaru sebagai wisatawan, tetapi mereka memiliki tujuan sendiri/terselubung yang sering memunculkan wajah abu-abu pariwisata.

Baca juga:  Tumpek Bubuh : Entik-Mentik-Petik

Dari para free-rider inilah muncul citra buruk pariwisata. Pada sisi lain, ada oknum pelaku industri pariwisata yang kadang juga bertingkah seperti free-rider. Sebagai contoh, hal ini terlihat dari tidak sinkronnya data ketersediaan fasilitas akomodasi pariwisata. Pemangku kebijakan mencatat masih kurangnya jumlah kamar hotel, sementara pelaku industri pariwisata berteriak bahwa suplai kamar sudah berlebihan.

Kondisi ini terjadi akibat adanya oknum nakal pelaku pariwisata pemilik akomodasi hotel yang tidak melaporkan seluruh kamar yang dimilikinya. Hal ini dilakukannya untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkan ke negara.

Sehingga terjadi perbedaan data jumlah kamar hotel antara pemerintah dengan pelaku industri pariwisata. Ada juga oknum pelaku usaha jasa pariwisata yang mengenakan tarif layanan yang berlebihan, dengan memanfaatkan ketidaktahuan wisatawan. Tentu saja wisatawan baru akan mengetahui ketidak-beresan ini di kemudian hari. Sehingga akan menimbulkan citra buruk pariwisata Indonesia.

Baca juga:  Ekonomi Bali Menuju Keseimbangan Baru     

Sementara juga ada oknum aparat yang bertindak memanfaatkan celah pelayanan publik pariwisata yang tidak sepenuhnya dipahami wisatawan. Sebagaimana yang terjadi dalam layanan jalur Fast-track keimigrasian Bandara I Gusti Ngurah Rai.

Layanan kemudahan bagi jenis wisatawan tertentu telah dimanfaatkan oknum aparat dengan mengenakan biaya layanan. Aneka pelanggaran tersebut tidak boleh kita biarkan berkepanjangan. Indonesia tidak membutuhkan kehadiran para wisatawan nakal. Oknum aparat dan pelaku pariwisata yang nakal juga harus diberantas. Secara jangka panjang wajah abu-abu pariwisata tersebut dapat merusak citra dunia industri pariwisata Indonesia secara keseluruhan.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Uran Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN