Lahan pertanian dengan budaya dan sistem subaknya di Badung. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST,.com – Hampir semua indikator pertanian Bali mengalami penurunan dalam waktu sepuluh tahun terakhir. Hal ini berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023. Jumlah usaha pertanian mengalami penurunan paling besar. Demikian jumlah rumah tangga yang bergantung hidup dari pertanian. Jika tak benar-benar diberi perhatian, pertanian Bali berada dalam ancaman kepunahan.

Berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 2023 (ST 2023), terjadi penurunan jumlah usaha pertanian 28,40 persen dari tahun 2013 sebanyak dibandingkan ST 2013 di Bali sebanyak 516.365 unit. Jumlah usaha pertanian tahun 2023 sebanyak 369.717 unit.

Menanggapi hasil ST 2023 ini, Akademisi Pertanian dari Universitas Udayana Prof. I Gusti Agung Ayu Ambarawati, Rabu (6/12) mengaku tak heran. “Bisa diprediksi bagaimana ketertarikan rumah tangga petani terhadap kegiatan di pertanian karena dilihat dari sumbangan sektor pertanian presentasenya menurun terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bali, berarti kegiatannya menurun,” ujar Ambarawati.

Baca juga:  Hari Ini, Underpass Simpang Tugu Ngurah Rai "Dipelaspas"

Kondisi ini menurut Ambarawati patut diwaspadai karena dalam 10 tahun terakhir terjadi penurunan lebih dari 20 persen. Terutama perlu diwaspadai dari sisi kebijakan pemerintah agar dapat mengatur dan mengedukasi masyarakat untuk tepat menjaga ketertarikan pada sektor pertanian.

Ada beberapa alasan jumlah usaha pertanian menurun karena yang terlibat dalam sektor ini adalah masyarakat yang berusia 40 tahun ke atas. Selain itu adanya alih fungsi lahan sehingga lahan olahan untuk pertanian menurun dan anggota rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian menurun mengingat ada pekerjaan alternatif lain yang bisa dikerjakan seperti  industri kecil dan pariwisata. Ditambah dengan adanya sistem bagi warisan yang membuat lahan semakin banyak yang terpecah dan beralih fungsi ke sektor non pertanian.

Baca juga:  Visi “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” Mesti Kembali Dilanjutkan Wayan Koster

“Sehingga dalam pandangan saya tidak terkejut dengan angka itu. Cuma dilihat lagi berapa penurunannya, presentasenya apakah drastis sekali. System warisan akhirnya memecah–mecah tanah sehingga berpotensi terjadi alih fungsi lahan, adanya alternatif bekerja di sektor non pertanian yang mungkin dilihat dari segi pendapatannya lebih tinggi dari bekerja di sektor pertanian untuk anggota RT,” beber Ambarawati.

Sektor pertanian Bali, menurut Ambarawati, tidak hanya berbicara di hulu, tapi juga perlu dibangun ekosistem hilir dari pertanian. “Agar apa yang dihasilkan di hulu dapat diserap di hilir jadi ada penyalurannya, petani juga perlu insentif untuk tetap mempertahankan usaha taninya,” ujarnya.

Meski ekosistem pertanian telah mulai dibentuk oleh pemegang kebijakan, namun nampaknya ekosistem yang telah diciptakan, belum memberi kesejahteraan bagi petani sehingga masih banyak yang beralih profesi dan mengalihkan lahannya ke sektor non pertanian.

Baca juga:  Problema Belum Terpecahkan, Kabel Utilitas Ganggu Ngaben di Bali

“Namun juga perlu dilihat apakah ada insentif dari pemerintah? Kalau kita bikin pertanian berkelanjutan, perlunya insentif dari sisi ekonomi, menguntungkan, dari sisi beradaptasi mau enggak mereka menerima inovasi-inovasi baru, ketiga mengarah ke lingkungan karena mereka memerlukan waktu untuk beradaptasi,” jelasnya.

Dengan demikian, bukan soal sulit atau tidaknya dalam membangun ekosistem pertanian dari hulu ke hilir. Menurutnya hanya masalah waktu dari konsistensi yang dilakukan untuk sektor pertanian ini. “Tergantung juga gencarnya pemerintah membangun ekosistem ini, dan antarpemerintah tidak terkotak–kotak. Perlu sinergitas untuk mencapai pertanian berkelanjutan dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan,” tandasnya. (Citta Maya/balipost)

 

BAGIKAN