I Wayan Sukarsa. (BP/Istimewa)

Oleh Ir. I Wayan Sukarsa, M.M.A

Di era otonomi daerah, masing-masing daerah diberikan kewenangan untuk mengatur pembangunan daerahnya sendiri berdasarkan fungsi, urusan dan kewenangannya (UU Nomor 23 Tahun 2014). Pembangunan sesungguhnya menjaga kelestarian alam dan kebersihan lingkungan, mengeksistensikan pembangunan manusia secara individu maupun sebagai makhluk sosial sesuai dengan Rta dan Dharma.

Sebagai implementasinya realitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan diberbagai aspek
berkembang sangat dinamis serta merubah tatanan kehidupan baik ekonomi, politik dan sosial budaya. Keberhasilan pembangunan memberikan kemajuan positif secara perekonomian, namun tidak dipungkiri juga memberikan dampak kurang baik karena
menghasilkan ekses dari berbagai aktivitas berupa sampah. (Rai Utama, 2016).

Meningkatnya volume sampah berkorelasi linier dengan perkembangan demografi, kemajuan teknologi, pola konsumsi masyarakat. Prof Dr Emil Salim menyatakan
bergesernya pola konsumsi dari pemenuhan kebutuhan (needs) menjadi pemenuhan keinginan (wants), ada sepuluh gejala kerusakan muka bumi. Salah satu dari
kerusakan tersebut adalah pencemaran laut, disebabkan masih ada usaha industri, dengan diam-diam membuang limbah ke laut, perilaku dan kesadaran masyarakat membuang sampah ke sungai, saluran
drainase dan tempat lain, ketika musim hujan tiba terbawa air ke hilir mencermari laut yang memberi kehidupan pada seluruh makhluk ciptaan Tuhan.

Baca juga:  Musim Gugur Pertanian Bali

Sampah merupakan permasalahan bersama yang harus dipecahkan terintgrasi melibatkan penghasil sampah, pengusaha, akademisi dan pemerintah sebagai regulator dalam pengelolaan sampah. Keberhasilan pengelolaan sampah dapat dilihat dari aspek penanganan dan pengurangan.

Sebagai gambaran di Kabupaten Badung, data jumlah sampah yang dikelola sebesar 66,85 % terdiri dari pengurangan sebesar 11,18 %, penanganan sebesar 55,67 % dan sebesar 33,15% belum tertangani (Dinas
Lingkungan Hidup dan Kebersihan 2020). Hal ini menunjukan bahwa sistem pengelolaan sampah masih berorientasi pada sistem penanganan, belum mengoptimalkan sistem pengurangan yang didukung partisipasi masyarakat dan swasta, yang kemungkinan masih membuang sampah ke sungai maupun tempat lain, dan ketika musim hujan tiba terbawa kehilir menjadi penyumbang mencemari laut sehingga mempengaruhi kesucian atau kelestarian pantai dan lautan (Segara Kerthi).

Baca juga:  Pengelola TPST Akui Belum Mampu Penuhi Target Pengolahan Sampah

Permasalahan utama pengelolaan sampah adalah paradigma, perilaku dan kesadaran, apabila tidak dirubah maka akan menimbulkan permasalahan yang besar karena membutuhkan ruang, waktu dan tempat (Mahyudin, 2014). Melihat permasalahan tersebut, solusi yang harus dilakukan adalah mendorong partisifasi penghasil sampah mengelola sampah secara mandiri sebagai upaya menjaga mewujudkan segara
kerthi.

Untuk mengurangi pencemaran laut, pemerintah perlu melakukan kajian pada sungai-sungai yang menjadi penyumbang sampah kelaut, merubah paradigma,
pola pikir dan kesadaran masyarakat dengan mendorong masyarakat bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan dan berpartisipasi secara aktif melakukan pengurangan sampah berbasis sumber
(Pergub Prov. Bali. Nomor 47 Tahun 2019).

Baca juga:  Geoekonomi Konflik Rusia-Ukraina

Untuk merubah paradigma tersebut upaya-upaya yang harus dilakukan melalui kegiatan sosialisasi pengelolaan persampahan, utamanya masyarakat yang tinggal di sepanjang bantaran sungai, pelatihan
pengolahan sampah menjadi produk yang bernilai ekonomis secara berkelanjutan.

Pada tataran teknis pemerintah perlu membuat alat penangkap sampah pada saluran drainase yang mengalir kesungai dan di hulu sungai yang mengalir kelaut sehingga dapat mencegah dan mengurangi sampah mencemari laut dan pantai sebagai refleksi perwujudan segara kerthi.

Penulis, Analis Kebijakan pada Bidang Riset, Inovasi Ilmu Prngetahuan dan Teknologi Badan Riset dan
Inovasi Kabupaten Badung

BAGIKAN