Dr. Made Gde Subha Karma Resen, S.H.,M.H.

Oleh Dr. Made Gde Subha Karma Resen, S.H.,M.H.

Beberapa tahun belakangan di Bali banyak kasus-kasus Lembaga Perkreditan Desa (LPD) masuk ke meja hijau dengan dituntut pidana korupsi. Tentu saja hal tersebut menimbulkan pro kontra dikalangan pengelola LPD, elitis, masyarakat, bahkan akademisi. Situasi tersebut menimbulkan paradoks, dikarenakan ada pandangan yang menekankan bahwa LPD merupakan pedruwen desa adat, dan kekayaan LPD merupakan pedruwen krame adat dan yang menyimpan dananya pada LPD. Bahkan UU Lembaga Keuangan Mikro pun telah menegaskan bahwa pemberian kedudukan yang istimewa terhadap LPD, yang dikecualikan pengaturannya dari UU LKM tersebut.

Pada sisi yang lain khususnya penegak hukum memandang bahwa adanya pemberian hibah dari pemerintah tersebutlah yang mengkategorikan bahwa terdapat unsur keuangan negara pada modal LPD. Serta dalam praktek penegakan hukum telah terdapat putusan pengadilan yang menegaskan bahwa hibah dari pemerintah daerah adalah lingkup keuangan negara. “Res Judicata pro veretate habitur,” putusan hakim harus dianggap benar, serta telah menjadi Yurisprudensi yang merupakan sumber hukum bagi hakim yang lain untuk menggali hukumnya.

Nah, situasi di atas inilah yang kita sebut Paradoks keuangan negara pada Modal LPD. Jika dicermati dari peraturan perundang-undangan, dengan diundangkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pengelolaan Keuangan Negara diatur dalam satu Paket Undang-Undang Bidang Keuangan Negara yang terdiri atas Undang-Undang Keuangan Negara yang merupakan pengganti ketentuan perundang-undangan lama (produk kolonial) tentang keuangan negara yang diatur dalam ICW, RAB, IBW, dan IAR.

Baca juga:  Budaya Membaca dan Perpustakaan

Pengelolaan Keuangan Negara tersebut diwujudkan dalam bentuk pengelolaan APBN/APBD untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Penegasan ini tidak berarti bahwa wujud pengelolaan keuangan negara hanya dipahami terbatas pada APBN/APBD saja (Pasal 23 UUD 1945), tetapi mencakup pula kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain, termasuk kekayaan yang dipisahkan, kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah, kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan atau untuk kepentingan umum.

Dalam UUD 1945, pokok-pokok mengenai keuangan negara, termasuk BAB VIII Hal Keuangan, di dalamnya juga terdapat norma Pasal 23C UUD 1945 yang menyatakan, “Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang undang”. Pasal 23C inilah yang merupakan perintah dari konstitusi untuk adanya pengaturan mengenai “hal-hal lain” tersebut dalam bentuk Undang-Undang.

Baca juga:  Budaya dan Politik Ekonomi

Hal inilah yang menjadi dasar pembentukan UU No. 17 Tahun 2003 Rumusan pengertian mengenai keuangan negara dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 menggunakan rumusan  pengertian yang bersifat luas dan komprehensif dengan tujuan untuk mengamankan kekayaan negara yang sesungguhnya bersumber dari uang rakyat yang diperoleh melalui pajak, retribusi maupun penerimaan negara bukan pajak.

Perluasan pengertian dan cakupan keuangan negara berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 menurut Mahkamah Konstitusi dalam konteks diajukannya gugatan ke MK, terkait UU No. 17 Tahun 2003 tidak bertentangan dengan norma UUD 1945 mengenai keuangan negara. Pasal 23 UUD 1945 tidak berarti wujud pengelolaan keuangan negara hanya terbatas pada APBN. Pemahaman mengenai keuangan negara tidak terlepas dari pasal-pasal UUD 1945 yang lain, khususnya dalam hal ini Pasal 23C UUD 1945.

Selain itu, perluasan pengertian keuangan negara diderivasi dari konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang secara eksplisit dianut dalam UUD 1945, yaitu Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat, hingga ke pasal-pasal yang terdapat di dalamnya, mencita-citakan pembentukan suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan mampu memajukan kesejahteraan umum.

Baca juga:  Pemkab Buleleng Tidak Alokasikan Hibah Bansos Pada APBD Perubahan

Selanjutnya menyangkut persoalan hibah pemda kepada LPD-pun, meskipun tidak sebanding dengan keseluruhan modal LPD, jika dicermati dari lingkup keuangan negara pada Pasal 2 UU Keuangan Negara, pengeluaran keuangan daerah merupakan lingkup keuangan daerah, dan hibah merupakan bagian dari pengeluaran daerah, tentu saja rumusan inilah yang menyebabkan modal LPD yang berasal dari Hibah Pemda masuk lingkup keuangan negara.

Menyoal kerugian negara atas hibah yang tidak sebanding dengan keseluruhan Modal LPD tersebutpun masih dapat diperdebatkan, karena unsur kerugian keuangan negara tersebut harus dapat dihitung, atau kerugian bersifat actual loss/kerugian secara nyata. Tentu membutuhkan instansi/lembaga yang memiliki kewenangan serta kompetensi untuk itu.

Kemudian perlu aturan yang mempertegas teknis pengembalian uang masyarakat, baik penabung maupun deposan, karena jika secara gramatika dipahami, kerugian negara harus dikembalikan ke kas negara. Atas tafsir pengertian keuangan negara yang diperluas, serta masuknya hibah sebagai pengeluaran negara/daerah pada lingkup keuangan negara inilah maka hibah modal LPD tersebut menjadi objek keuangan negara.

Penulis adalah Ahli Hukum Unud, Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana

BAGIKAN