DENPASAR, BALIPOST.com – Hari suci Saraswati merupakan momen sakral dan spesial bagi umat Hindu. Hari Saraswati diyakini sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan suci bagi umat Hindu yang jatuh setiap 6 bulan sekali atau 210 hari sekali, tepatnya pada Saniscara Umanis, Wuku Watugunung. Kini perayaan hari suci Saraswati tidak lagi menjadi milik siswa, guru, mahasiswa atau yang sedang menjalani Brahmacari, melainkan sudah melekat di hati umat Hindu.
Jangan heran perayaan hari suci Saraswati kini dilakukan mulai dari warga kota hingga ke desa bahkan ke pamaksan dadia pura. Yang menarik lagi konten pengisian dirinya makin menonjol yakni sehabis sembahyang diisi dengan perenungan diri bahkan meditasi untuk menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya ilmu pengetahuan untuk memenangkan persaingan di masa depan.
Pengamat agama Hindu yang juga guru Agama Hindu di SMAN 9 Denpasar, I Wayan Saputra, S.Pd., M.Pd., dalam acara Dialog Merah Putih Bali Era Baru tentang ’’Pemaknaan Hari Suci Saraswati dalam Kekinian’’, Rabu (13/12) di Warung Bali Coffee Jl. Veteran 63 Denpasar mengungkapkan pelaksanaan Hari Suci Saraswati di sekolah kerap diisi dengan berbagai kegiatan seperti lomba ngelawar, membuat gebogan, dan sebagainya, sebagai bentuk wujud bakti ke hadapan Ida Hyang Widhi Wasa. Semua kegiatan untuk meningkatkan bhakti dan sradha kepada Sang Pencipta.
Mitos bahwa saat Ssaraswati tidak boleh membaca, menurut Wayan Saputra, harus dibedakan, mana materi yang boleh dibaca yang sifatnya profan dan sakral. Pada hari suci ini, hal yang tidak boleh dibaca yakni yang bersifat saktal, karena diyakini Sang Hyang Aji Saraswati sedang beryoga untuk memberikan anugerah ilmu pengetahuan.
Sementara itu Guru Ajeg Bali yang juga Kepala SMAN 1 Tembuku Bangli, I Komang Warsa, S.Pd., M.Si., M.Pd., memaparkan bahwa setiap momen upacara di Bali selalu sarat makna. Berbicara Hari Suci saraswati, tentu berbicara soal ilmu pengetahuan. Namun, tidak berhenti statis menerjemahkan makna Saraswati sampai di situ saja.
Setelah adanya kesadaran akan pentingnya ilmu poengetahuan, hendaknya dilanjutkan berupa sikap menghormati ilmu pengetahuan itu sendiri. Artinya di saat hari Saraswati, kita menanamkan dan menjalankan empat kecerdasan dalam dunia pendidikan yakni kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Inilah yang patut kita tanamkan pada peserta didik dan angka pembawa masa depan bangsa. Sebab, kata dia, tanpa pengetahuan, kita akan hidup terombang-ambing.
Apalagi dengan konsep Merdeka Belajar, pemaknaan Hari Suci Saraswati sangat berkaitan erat. Kita dewasa ini bisa belajar dari banyak sumber belajar dan kapan saja. Sumber belajar bisa di guru, teman, saudara, atau di internet. Inilah yang dimaksud simbol rantai di Dewai Saraswati bahwa ilmu pengetahuan itu terus berkembang tak ada ujungnya. Belajar juga demikian yang disebut pendidikan sepanjang hayat.
Menurut Warsa, perayaan Saraswati jangan sekadar hanya dijadikan perayaan rutinitas setiap 6 bulan sekali, tetapi lebih ke menyadarkan tentang makna filosofi perayaan Saraswati dan meningkagkan kecerdasan spiritualitas.
Seperti rangkaian upacara dari Saraswati sampai Hari Pagerwesi, itu maknanya sangat dalam. Itu yang harus diberikan pemahaman kepada generasi milenial bahwa dalam mengamalkan ilmu pengetahuan suci harus dilandaskan pada ajaran Catur Purusa Arta yakni Dharma, Arta, Kama dan Moksha. (Made Sueca/balipost)