Oleh A.A Ketut Jelantik, M.Pd.
Membangun karakter siswa melalui penguatan sikap disiplin tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah bagi warga sekolah. Cita-cita untuk membentuk karakter siswa yang sesuai dengan profil pelajar Pancasila masih membutuhkan waktu, kerja keras serta partisipasi semua pihak. Maraknya kasus bully yang melibatkan siswa hingga saat ini masih kerap mewarnai pemberitaan media cetak maupun elektronik. Diskursus tentang perilaku deviant atau menyimpang dari sebagian siswa masih sering memenuhi ruang publik.
Berbagai bentuk tawaran untuk mengatasi permasalah tersebut sudah banyak disuarakan. Namun, kasus-kasus bernuansa kriminal yang melibatkan siswa belum bisa dikendalikan. Bahkan ada indikasi kualitasnya naik.
Kasus seorang siswa Madrasah Aliyah (MA) di Kota Demak yang nekad menganiaya guru hanya karena hal yang sepele, atau siswa yang “mengetapel” guru hingga menyebabkan bola matanya cacat, mungkin adalah dua contoh konkrit perilaku deviant siswa yang tidak lagi hanya sekedar kenakalan biasa, namun mengarah pada perilaku kriminal.
Kita tentu boleh marah, kecewa atau mungkin “mengutuk” perilaku deviant tersebut. Namun, hal itu tentunya tidak akan menyelesaikan masalah. Mengutuk, menggerutu, hanya akan menambah beban carut marutnya pembinaan disiplin di sekolah.
Sepertinya kepala sekolah, guru maupun orang tua perlu mengkalkulasi ulang bentuk treatment atau perlakuan yang diberikan kepada para pelanggar disiplin di sekolah. Tindakan reflektif dibutuhkan untuk mengurai benang kusut maraknya perilaku menyimpang tersebut. Jangan-jangan benang kusut tersebut sebagai dampak dari kebiasaan usang kita yang lebih mengutamakan pemberian sanksi berupa hukuman fisik maupun non-fisik, ketimbang penerapan disiplin positif. Atau bisa jadi ini konsekuensi dari glorifikasi perilaku menyimpang yang “diumbar” di medsos. Meski akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan hambatan, namun tampaknya membumikan disiplin positif bagi seluruh warga sekolah menjadi sebuah keniscayaan. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah mengubah pola pikir guru. Dari kebiasaan memberikan hukuman bagi siswa yang melanggar disiplin ke pola yang lebih humanis dan restitutif.
Lynn Lott Penulis Buku “Positive Dicipline in The Classroom“ mendefinsiikan disiplin positif sebagai sebuah pendekatan yang mengajarkan anak-anak keterampilan sosial emosional dan keterampilan hidup yang membantu mereka sukses di sekolah dan dalam kehidupannya. Sejalan dengan Lynn Lott, Jene Nelsen Penulis Buku “Positive Disipline” menyebutkan bahwa disiplin positif merupakan bentuk pengajaran yang menekankan siswa untuk memahami konsekwensi yang harus ditanggung akibat tindakannya, dan sekaligus mengajarkan mereka untuk mampu berpikir kritis serta bertanggungjawab terhadap perilaku mereka. Bukan hanya sekedar menyampaikan bahwa memberikan hukuman tidak akan memberikan dampak positif bagi perkembangan psikologis siswa, namun apa yang disampaikan Lynn Lott dan Jane Nelsen tersebut mempertebal garis segragasi antara menghukum dengan penegakan disiplin positif lengkap dengan akibat yang ditimbulkannya.
Disiplin positif bisa diterapkan di sekolah jika guru-guru mengetahui bahwa setiap tindakan atau perbuatan siswa memiliki alasan atau motivasi. Menurut Diane Gossen (1966) ada tiga hal yang memotivasi seseorang untuk melakukan tindakan. Pertama, untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman. Kedua, untuk mendapatkan imbalan, serta yang Ketiga untuk menjadi orang yang diinginkan sekaligus menghargai diri sendiri sesuai dengan nilai-nilai yang dipercaya. Idealnya, siswa harus pada posisi yang ketiga yakni melakukan sesuatu lantaran mengejar nilai-nilai kebijaksanaan yang ada di tengah masyarakat.
Entah karena kurang membaca referensi atau kurang literat, para guru tampaknya kurang memahami tiga konsep tersebut. Sehingga ketika seorang siswa melakukan pelanggaran secara serta merta guru langsung menjustifikasi bahwa siswa tersebut telah melakukan pelanggaran dan wajib untuk diberikan sanksi berupa hukuman. Sangat jarang guru mencari sebab musabab kenapa siswa melakukan tindakan tersebut. Menghukum hendaknya menjadi pilihan paling akhir. Hukuman lebih fokus pada penyelesaian masalah secara instan maka hal ini tidak akan memberikan pelajaran apapun kepada siswa, selain “luka” di hati dan terkadang “luka” tersebut dibawa sepanjang hidup mereka. Guru tentunya tidak ingin mencatatkan diri dalam torehan “luka”hati tersebut.
Membumikan disiplin positif di sekolah membutuhkan kerelaan guru untuk membuang pola-pola lama pembinaan kepada siswa. Dari pola yang cenderung pada menghukum ke pola yang memberikan ruang kepada siswa untuk menyadari akan resiko atau konsekwensi yang akan diterima atas perbuatannya. Perubahan pola tersebut hanya bisa dilakukan jika guru mulai mengalihkan pola pembinaan dari yang berbasis teori stimulus-respon ke teori kontrol. Dari model berpikir menang / kalah ke model berpikir menang/menang. Selamat mencoba.
Penulis, pengawas sekolah Disdikpora Kabupaten Bangli