Ahli pidana memberikan pendapat terkait kasus SPI Unud di Pengadilan Tipikor Denpasar. (BP/asa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Perkara dugaan korupsi Dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mahasiswa baru seleksi Jalur Mandiri Universitas Udayana (Unud) Tahun 2018 sampai dengan Tahun 2022 dengan terdakwa Dr. Nyoman Putra Sastra, S.T., M.T., Ketut Budiartawan, S.Kom, M.Si dan I Made Yusnantara, Senin (18/12) sudah memasuki pemeriksaan ahli. JPU Nengah Astawa, Agung Gede Lee Wisnhu Diputera dkk., di Pengadilan Tipikor Denpasar menghadirkan dua ahli, yakni ahli IT dan Digital Forensik, Irwan Haryanto dari JAM Intel Kejaksaan Agung RI dan ahli hukum Pidana, Hendri Jayadi.

Dalam keahlian mereka yang disampaikan di hadapan majelis hakim yang diketuai Putu Ayu Sudariasih dengan hakim anggota Gede Putra Astawa dan Nelson, ada beberapa hal yang mengemuka. Pertama adalah soal delik pidana dalam Pasal 12 e UU Tipikor, dan juga tentang kerugian keuangan negara yang korelasinya dengan pidana korupsi.

Baca juga:  Tiga Bulan Terakhir, Denpasar Catat Ratusan Kasus DBD

Kedua adalah ahli forensik yang membuka percakapan antara mantan Rektor Unud Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara M.Eng., dengan salah satu terdakwa yakni Dr. Nyoman Putra Sastra, S.T., M.T. Dijelaskan ahli, pihaknya membuka ponsel milik terdakwa dan ditemukan percakapan antara rektor dengan Putra Sastra. Percakapan itu melalui WhatsApp, isinya antara lain meminta meluluskan calon mahasiswa dan mengubah nilai hingga calon mahasiswa tersebut diterima di Unud.

Sedangkan Hendri Jayadi selaku ahli hukum pidana oleh JPU awalnya ditanya terkait Pasal 12 e UU Tipikor. Ahli menyebut terkait delik, di sana ada penyelenggara negara atau ASN, yang dapat upah dari negara.

Baca juga:  Bali Sudah Tangani 75 Kasus PDP COVID-19, Puluhan Masih Tunggu Hasil

Delik lain menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan kekuasaannya. Poinnya adalah kewenangannya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara. Pasal 12 e adalah merupakan delik formil.

Lanjut dia, memaksa seseorang itu tidak mesti dengan bersentuhan fisik, tetapi dengan program melakukan pemaksaan, unsur Pasal 12 e sudah terpenuhi. Keuntungan tidak semata-mata uang, tidak hanya dapat keuntungan atau benefit finansial namun fasilitas juga termasuk. “Misalnya fasilitas dari bank, itu merupakan keuntungan,” jelasnya.

JPU kemudian menanyakan bagaimana terkait dengan pungutan ilegal, tetapi dana pungutan itu disetor ke negara? Ahli berpendapat dalam hal itu negara tidak dirugikan. “Tetapi kalau dasar hukum pungutannya itu dilanggar, maka hal itu tidak dapat menghapus perbuatan pelanggaran hukumnya,” ucap ahli.

Baca juga:  Jembrana Terapkan "Zero" ODOL, Kedapatan Melanggar Diminta Buat Pernyataan

Kuasa hukum terdakwa sempat menanyakan soal adanya putusan MK tahun 2016 terkait korupsi dan adanya kerugian keuangan negara. Ahli berpendapat dalam hal itu masih ada dissenting opinion.

Kata dia, bahwa tindak pidana korupsi, dapat menimbulkan kerugian keuangan negara, jika itu diterapkan pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

Hakim sempat menanyakan soal SK Rektor, ahli sebut pungutan yang dilakukan sebelum SK jelas merupakan pungutan ilegal. Itu berkaitan dengan locus dan tempus. Sebaliknya jika sudah ada SK, itu legal sesuai dengan SK. Terkait perubahan nilai untuk meluluskan mahasiwa, ahli menyatakan itu bisa disebut memalsukan. (Miasa/balipost)

BAGIKAN