Oleh I Gusti Ketut Widana
Merujuk lontar Sundarigama, makna filosofis Tumpek Landep adalah moment religis mengasah/menajamkan pikiran (pinaka landeping idep). Secara teologis merupakan bentuk ritual pemujaan Hyang Widhi — Siwa Pasupati, simbol kecerdasan dan kecermatan. Sedangkan secara tradisional ditandai prosesi pembersihan/penyucian piranti perang seperti keris, tombak, senjata dewata, dan sejenisnya yang dipandang bernilai magis. Sementara itu dalam konteks kekinian, seperti sudah lumrah umat Hindu “ngotonin motor”, mulai sepeda motor, mobil hingga pesawat terbang, dan peralatan berbahan logam lainnya.
Lalu bagaimana jika dikaitkan momentum menyambut pesta demokrasi lima tahunan seperti Pilpres? Tampaknya, hari suci Tumpek Landep, dilaksanakan setiap Saniscara Kliwon wuku Landep (210 hari sekali) mengandung amanat, mengajak umat sebagai calon pemilih untuk menggunakan “idep” — pikiran cerdas dan jernih. Terutama dalam menentukan calon pemimpin bangsa yang secara struktural akan berpengaruh ke tingkat masyarakat bawah, khususnya krama Bali yang notabene pemeluk Hindu. Diperlukan kesadaran kolektif masyarakat Bali sebagai calon pemilih agar tidak hanya terpaku pada fanatisme parpol dengan sosok paslonnya dalam Pilpres, tetapi lebih mengedepankan kepentingan Bali seutuhnya yang harus diakui tergolong minoritas.
Artinya jika secara nyata berdasarkan rekam jejaknya terdapat calon pemimpin terindikasi mendukung atau didukung kelompok identitas keagamaan berhaluan garis keras bahkan bisa saja berafiliasi pada organisasi ekstremis, tentu sangat membahayakan bahkan mengancam keberadaan masyarakat Bali, mayoritas penganut Hindu dengan adat dan budaya adiluhurnya.
Pilihan paling aman bagi krama Bali, tidak perlu terlalu chauvinistik terhadap parpol dan paslonnya, tetapi lebih menjatuhkan pilihan pada calon pemimpin berkarakter nasionalis religius, berpaham multikultur dan berjiwa toleran. Ini semata-mata demi keajegan Bali sepenuhnya, meliputi seluruh krama dengan kekuatan adat, budaya dan agama Hindu sebagai bendera kebalian wong Bali. Pembuktiannya, bukan lewat wacana kata-kata sebagai bumbu orasi dalam kemasan janji yang seringkali tak terbukti, tetapi berdasar track record-nya selama ini yang dapat ditelusuri melalui jejak digital atau bersumber dari data-fakta intelejen.
Sudah saatnya krama Bali, sebagai pemilih untuk tidak sekadar milu-milu tuwung dalam menentukan pilihannya. Meski berbeda bendera parpol dan paslonnya, tetapi ketika berhubungan dengan upaya mengamankan masa depan Bali sebagai “daerah khusus Hindu”, hendaknya kepentingan individu/kelompok/golongan dikesampingkan. Taruhannya sangat besar, yaitu keberlangsungan entitas kebali-hinduan Pulau Dewata dengan seribu Kahyangannya dapat terganggu bahkan tercerai-berai. Termasuk oleh (calon) pemimpin bangsa yang dari berbagai bukti (data/fakta/digital) terendus, baik secara terselubung maupun transparan mendukung atau didukung pihak-pihak yang selama ini dikenal sebagai kelompok radikal.
Mereka itu diketahui sebagai penebar ancaman terhadap ideologi Pancasila, pengusung politik identitas keagamaan, pejuang negara teokrasi, penggerak aksi intoleran, dan sejenisnya yang tentu saja berimbas negatif (merugikan) bagi pencinta kerukunan dan kedamaian dalam frame negara kesatuan Republik Indonesia yang berbhineka tunggal ika, termasuk Bali. Kecuali para calon pemilih dapat menggunakan “idep” (rasionalitas), tidak mengedepankan emosionalitas atas dasar loyalitas kepartaian terhadap paslonnya, meskipun secara popularitas dan elektabilitas berada di posisi atas.
Ritual Tumpek Landep di masa menjelang pemilu ini patut dijadikan motivasi dan inspirasi bagi krama Bali (Hindu) untuk lebih menggunakan “idep” (rasionalitas) daripada emosionalitas dalam menentukan pilihan terhadap calon pemimpin bangsa masa depan. Tidak pula idep-idepang memilih–asal pilih apalagi golput. Kesemua itu demi tetap terjaganya keluhuran jagat Bali yang harus terjamin di tangan pemimpin bangsa mendatang. Karenanya, jangan sampai gangsaran tindak kuangan daya — cepat bertindak (memilih) pemimpin tanpa dilandasi akal (idep), bisa-bisa krama Bali tidak eksis (idup) lagi, atau malah di-adep (dijual), untuk ngidupin sang pemimpin.
Penulis, Dosen Fak. Pendidikan UNHI Denpasar