Dr. Yoga Iswara, BBA., BBM., MM., CHA. (BP/kmb)

DENPASAR, BALIPOST.com – Penerapan pajak daerah untuk usaha Spa yang naik dari 15 persen menjadi 40 persen membuat pelaku usaha di Bali kelimpungan. Pasalnya kenaikan pajak tersebut belum tersosialisasi dengan baik.

Selain itu, usaha Spa diharapkan tidak dikategorikan sebagai usaha hiburan melainkan wellnes. Pengusaha Spa meminta agar kenaikan pajak ditunda.

Menurut Ketua Indonesian Hotels and General Manager Association (IHGMA) Bali Dr. Yoga Iswara, Kamis (4/1) mengatakan, pajak spa mengalami kenaikan yang awalnya 15 persen menjadi 40 persen, bahkan sebelumnya pajak spa hanya 12,5 persen. Penerapan kenaikan pajak spa tersebut membuat pihaknya agak sedikit kaget karena sosialisasi sangat minim. “Tiba-tiba diundangkan dan dari kabupaten pengimplementasian mulai dilakukan, seperti di Badung,” ujarnya.

Untuk itu ia bersama Ketua Bali Spa and Wellness Association (BSWA) Bali telah melakukan pertemuan dengan Kepala Dinas Pariwisata Bali mencari solusi karena dengan pajak 40 persen. Menurutnya kenaikan pajak itu memberatkan industri pariwisata. “Karena yang menjadi objek 40 persen ini adalah semua izin usaha spa baik yang melekat di hotel maupun yang independen, yang memiliki izin usaha spa,” ujarnya.

Baca juga:  Denda Keterlambatan Pembangunan Stage Ceningan Jadi Temuan BPK

Kenaikan pajak spa menjadi 40 persen ini, menurutnya, karena spa digolongkan ke dalam hiburan. Padahal, dalam industri pariwisata, spa berdasarkan definisi dan nomenklaturnya masuk ke kategori wellness.

Ia berharap, status spa tidak diturunkan menjadi hiburan melainkan tetap berstatus wellness karena ada proses healing, dan proses budaya yang harus dilestarikan. Apalagi saat ini industri spa khususnya di Bali sedang mengembangkan spa berdasarkan etnografi, kekayaan atau tradisi dalam suatu daerah, seperti Balinese Massage.

Baca juga:  Dharmasanti Nasional Nyepi Momentum Jalin Kebersamaan Antar-Umat

Dengan upaya tersebut, industri spa di Indonesia diharapkan dapat meningkat popularitasnya di dunia seperti Thai Massage dan Swedish Massage. Jika peraturan tersebut dijalankan, ia yakin pasti akan berdampak pada industri spa dan pariwisata di Bali.

Sebab, selain akomodasi, penunjang pariwisata utama di Bali adalah spa. Selain itu, peraturan ini akan berdampak terhadap terapis spa itu sendiri karena industri spa yang berkembang di tanah air kurang menarik sehingga berpotensi outbondnya para terapis spa ke luar negeri.

Hal ini mengkhawatirkan karena etno spa yang akan dikembangkan sebagai ikon pariwisata di nusantara justru tidak akan berkembang akibat SDM berkurang. Para UMKM yang menyuplai produk ke spa pun akan berdampak.

Baca juga:  Pertumbuhan Ekonomi Bali Tak Berkualitas, Hanya Dinikmati Sekelompok Masyarakat

Selain itu pelaku usaha spa sendiri juga akan berdampak apakah pajak tersebut akan dilakukan dari memotong keuntungannya atau mengenakan pajaknya kepada konsumen. Jika pengenaan dilakukan pada konsumen, tentu akan memberatkan konsumen sehingga industri spa akan sulit bersaing.

Menurutnya, kondisi ini perlu disikapi secara bijak, cara mengantisipasi permasalahan ini. Harapannya, rapat dengan Kadisparda Bali dapat diteruskan ke Pj Gubernur Bali sehingga dari Pj dapat mengambil langkah untuk pemerintahan di tingkat II karena pemungutan pajak dilakukan di kabupaten/kota. “Harapannya bisa menunda  ini sehingga asosiasi, stakeholder akan bisa melakukan yudisial review agar dikembalikan lagi statusnya menjadi spa wellness, bukan hiburan,” tandasnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN