Oleh I Gusti Ketut Widana
Hari suci Siwaratri, dilaksanakan setiap purwaning tilem kapitu (hari ke-14 paro gelap), diyakini sebagai malam beryoganya Sang Hyang Siwa. Sehingga siapa pun yang memuja saat itu, akan mendapat anugerah pembebasan dari segala “papa” (noda dan dosa).
Siwaratri menjadi titik kulminasi kesadaran Ilahi melalui
kebangkitan energi rohani/jiwani, dengan mengurangi bahkan meninggalkan kemelekatan materi/bendani
yang bersifat semu, palsu, bahkan sering menipu. Tampilnya figur Lubdhaka, sebagaimana dinarasikan Kakawin Siwaratrikalpa adalah seorang ‘pemburu’, gam-
baran tentang kita, yang pada era zaman Kali
(Kaliyuga) sekarang ini dominan waktunya dimanfaatkan.
Memburu kebutuhan biologis lewat sajian konsumsi materi. Seiring bergulirnya rangkaian pemilu tahun ini, muncul juga sosok-sosok “Lubdaka” — pemburu kedudukan/kekuasaan lewat kancah pesta demokrasi, yang mampu membius para tokoh, termasuk kader, relawan, simpatisan pendukung memperjuangkan hasrat politik lima tahunan. Seperti lumrah terjadi, tak jarang sampai menggelapkan jiwa (kesadaran) membutakan hati nurani dan mensucikan segala tindakan.
Akibatnya, ketika keadaan jiwa tanpa kesadaran (lali/lipya), apapun yang dilakukan cenderung dipengaruhi awidya (kegelapan/kebodohan).
Sehingga realita kehidupan kini, baik dalam urusan berburu kebutuhan hidup material maupun kekuasaan sudah tersurat dalam Kakawin Niti Sastra, IV. 7, 11. Penggalan kutipannya menyatakan: “Sesungguhnya, bila zaman Kali datang pada akhir Yuga, hanya materi/kekayaan yang dihargai. Orang-orang sadhu, pandai mengabdi pada orang kaya …; Dunia guncang dan diselubungi kegelapan, manusia menjadi kegila-gilaan, suka berkelahi, berebut kedudukan yang tinggi-tinggi…”.
Hanya saja terdapat perbedaan mendasar dari kisah Lubdhaka sebagai pemburu “sato” (hewan) yang akhirnya setelah melakoni kisah satu malam “perenungan” di malam Siwaratri, mengantarkannya masuk dan diterima di alam surga (Siwaloka). Sedangkan cerita tentang “Lubdhaka” pemburu kekuasaan di tengah musim kampanye bukan surga yang dipentingkan tetapi raihan suara kemenangan menuju kursi kekuasaan.
Cuma lantaran minim kesadaran dalam kontestasi politik, berbagai taktik dan intrik dilakukan. Di antaranya memanfaatkan posisi aji mumpung sebagai penguasa, dengan mengondisikan berbagai perangkat dalam struktur pemerintahan untuk turut memberikan dukungan, meski terselubung.
Lebih fatal lagi dengan terang-benderang menggunakan jurus money politics, membeli suara rakyat demi meraih keunggulan/kemenangan. Rakyat kelas bawah yang relatif awam sekaligus lebih berpikir pragmatis, pancingan politik uang seringkali membutakan pilihannya alias asal pilih tanpa tahu siapa sebenarnya pemimpin yang layak di/terpilih.
Inilah model “Lubdhaka” saat musim pemilu sekarang ini, menyeruaknya para pemburu suara, pengepul politik uang, koalisi kepentingan demi kemenangan merebut kekuasaan. Kemudian menjadikan kekuasaan itu sebagai jalan tol menggolkan segala kepentingan personal, kelompok/golongan yang berperan sebagai
pengusung sekaligus pendukung, baik militan secara ideologis maupun yang berpikir instan, praktis/pragmatis, demi mendapat pipis (uang), meski adakalanya dengan saudara/kerabat harus saling ambis/bisbis (berkelahi).
Tampaknya, ritual suci Siwaratri dengan kisah Lubdhaka sang pemburu, di saat musim pemilu kali ini, dapat dijadikan inspirasi bahwa kontestasi politik dalam pesta demokrasi, hendaknya lebih mengedepankan kesadaran
kolektif berlandaskan tuntunan etik, moral dan spiritualistik. Sehingga bukan kekuasaan yang menjadi tujuan tertinggi melainkan ksaya nikang papa nahan prayojana — bahwa melenyapkan penderitaan rakyat itulah tujuan utama tat kala berkedudukan sebagai
pemimpin.
Bukan justru menjadi “pemempen” – apa ada pempen – ambil-simpan untuk memperkaya diri, kelompok/golongan. Bisa juga dengan motif memperpanjang/melanggengkan kekuasaan, yang memang tidak mudah didapatkan. Perlu perjuangan bahkan pengorbanan, termasuk bisa saja mengorbankan kepentingan rakyat banyak.
Saatnya ritual Siwaratri menjadi spirit, penuntun jiwa bagi para politisi atau kontestan pemilu, baik di tingkat caleg maupun capres untuk lebih memperjuangkan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran rakyat daripada berambisi menduduki tahta kekuasaan yang
tidak kekal. Sebab kekekalan tujuan hidup sejati adalah mencapai kesadaran sang diri – atutur ikang atma ri jatinya, demikian amanat hari suci Siwaratri.
Penulis, dosen Fak. Pendidikan UNHI