MANGUPURA, BALIPOST.com – Pandemi COVID-19 telah meluluhlantakkan dunia usaha di Bali. Kini, dunia usaha, khususnya spa di Bali kembali harus menanggung beban kenaikan pajak dengan diberlakukannya UU Nomor 1 Tahun 2022.
“Kok tega pemerintah terhadap kita yang tiga tahun tutup karena pandemi COVID-19, sementara listrik bayar terus, sewa lahan, kita baru mengcover hutang, kita melakukan renovasi, kita baru saja bangkit,” ujar Debra Maria Rumpesat, pelaku usaha Taman Air, Kamis (12/1) di Kuta, Badung.
Menurutnya akar permasalahannya karena spa masuk dalam kategori hiburan. Ia selama 31 tahun berkecimpung di dunia spa wellness, berupaya memperjuangkan agar spa menjadi produk yang terhormat hingga terkenal hingga ke mancanegara.
“Ternyata sekarang dilempar begitu saja ke hiburan. Maka krisis terapis akan jadi nyata, akan banyak yang tutup, terapis akan kerja di luar negeri yang lebih menarik dan menjanjikan. Pemerintah yang engga punya kontribusi apa-apa, tiba -tiba memungut pajak 40%, kok jahat banget,” ujarnya mewakili jeritan pelaku usaha spa di Bali.
Berdasarkan riset yang ia lakukan, sebelum 2018, 80 persen tamu spa adalah nondomestik. Namun begitu pandemi menghantam, ia pun terpaksa melakukan switch tamu dari nondomestik ke domestik. Sementara potensi pengguna spa sangat besar karena saat ini yang baru menggunakan jasa spa sebanyak 3,2 persen, sehingga potensi marketnya masih sekitar 96%.
Dengan adanya UU ini, akan sangat berimbas pada tamu domestik yang akan terbebani dengan pajak 40 persen. “Ternyata kita bisa menjadi tuan rumah di negara sendiri. Berdasarkan market riset-nya juga, value for money untuk domestik Rp 200 ribu – Rp 500 ribu, jika naik 40 persen bisa dibayangkan,” ujarnya.
Seharusnya, lanjut Debra, pemerintah memberikan dukungan kepada pelaku usaha saat mulai bangkit namun kebijakan ini justru sebaliknya.
Perwakilan pengusaha spa di Ubud I Ketut Sudata Yasa menolak keras pengenaan pajak 40 persen – 75 persen karena akan mempengaruhi banyak sektor terutama supplier, laundry, dan menerima tawaran lebih baik di negara tetangga.
Maka dari itu ia meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikan pajak itu dan mengeluarkan spa sebagai kategori hiburan. Bahkan menurutnya spa mendunia dimulai dari Bali.
Spa adalah hal yang besar dan telah mencetak terapis handal dan pengusaha spa. “Kami secara keras dan tegas menolak UU tersebut. Saya prihatin sebagai pengusaha yang baru mulai merangkak, bagaiman ke depannya? Sementara banyak orang menggantungkan kehidupannya di sini. Kami sangat geram,” ujarnya.
Perwakilan dari Mandara Spa Indonesia, Ni Ketut Suastari menilai jika pajak ini dipaksakan, peminat spa akan turun dan usaha gulung tikar. Image spa menjadi tidak benar, tidak baik bila dikategorikan sebagai hiburan.
Representative Lawyer pelaku usaha spa, Mohammad Ahmadi mengatakan, spa harus keluar dari rezim hiburan. Upaya yang dapat dilakukan dengan menempuh jalur judicial review ke MK. Selain itu dapat menempuh jalur politik dengan melobi agar Presiden dapat mengeluarkan Perppu.
Kuasa hukum pelaku usaha spa lainnya, Mohammad Hidayat mengatakan terdapat kerugian konstitusional akibat pemberlakuan pasal 55 ayat 1 dan pasal 58 ayat 2 UU No.1 Tahun 2022. Pengusaha jasa pelayanan kesehatan tirta husada/mandi uap/spa yang harus menanggung biaya PBJT sebesar 40-75% yang disetor ke kas daerah.
Bahkan terhadap usaha sejenis panti pijat dan pijat refleksi yang hanya dikenakan tarif PBJT sebesar 10% sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 ayat 1.
Mandi uap/spa berdasarkan UU nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 1 angka 16 jo Permenkes No.8 tahun 2014 tentang pelayanan kesehatan spa pasal 1 angka 1 adalah termasuk pelayanan kesehatan yang dilakukan secara holistik dengan memadukan berbagai jenis kesehatan tradisional dan modern yang menggunakan air. (Adv/balipost)