JAKARTA, BALIPOST.com – Ada tiga sektor yang harus mendapatkan perhatian khusus untuk bisa mengakselerasi transisi energi. Diantaranya, transportasi industri, dan pembangkit listrik, dan bangunan. Demikian dikatakan Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Daniel Murdiyarso.
“Ketiga sektor ini perlu mendapat perhatian yang cermat, khususnya di Indonesia yang pembangkitan listriknya sebagian besar berbasis batu bara,” katanya dalam diskusi KIPD AIPI bertajuk “Perubahan Iklim dan Transisi Energi Berkeadilan” di Jakarta, dikutip dari kantor berita Antara, Kamis (18/1).
Daniel menuturkan industri atau pembangkitan tenaga listrik di Indonesia paling besar dibangkitkan dengan bahan baku berbasis fosil, yakni batu bara.
Di sisi lain, transportasi di Indonesia juga masih didominasi oleh kendaraan berbasis fosil. Begitu pula di sektor bangunan, yang mana banyak bangunan tidak ramah lingkungan karena masih harus menggunakan pendingin ruangan (air conditioner/AC). “Ini jadi ancaman target penurunan emisi,” katanya.
Daniel yang juga Guru Besar FMIPA IPB menjelaskan untuk mengakselerasi transisi energi, Indonesia telah mendapatkan komitmen bantuan pendanaan dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai 20 miliar dolar AS.
“Jadi, pemerintah baru nanti bisa berharap, bisa menagih janji pendanaan yang akan kita peroleh, sehingga target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 34 persen pada 2030 bisa terwujud,” imbuhnya.
Per 2023, bauran EBT dalam energi primer Indonesia, baru mencapai 13,1 persen. Meski meningkat dibanding capaian 2022 yang sebesar 12,3 persen, namun angka tersebut jauh lebih rendah dari target 2023 sebesar 17,9 persen.
Daniel menyebut kontribusi energi terbarukan di Indonesia masih sangat rendah. Hal itu menyebabkan emisi Indonesia masih tetap tinggi, utamanya yang berasal dari fosil.
Kondisi tersebut juga ditambah dengan pasokan batu bara Indonesia yang melimpah, dengan cadangan yang cukup untuk 62 tahun ke depan. Adapun pasokan minyak bumi masih cukup untuk 18 tahun dan pasokan gas bumi masih bisa digunakan hingga 30 tahun lagi. “Jadi, perlu ditimang-timang, apakah kita terus mengemisikan atau ada trade off dari sisi trading lewat carbon trading,” katanya. (Kmb/Balipost)