DENPASAR, BALIPOST.com – Berlakunya Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Hubungan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) dinilai akan berdampak buruk bagi perkembangan dunia usaha, khususnya industri spa. Oleh karena itu, pelaku usaha spa yang tergabung di dalam Welness and Healthcare Enterpreneur Association (WHEA), Indonesia Welness Master Association (IWMA) dan Indonesia Welness SPA Professional Association (IWSPA) mendorong pemerintah merevisi aturan tersebut.
Menurut Direktur Lembaga Sertifikasi dan Profesi (LSP) Pariwisata, Akhyaruddin Yusuf, S.E., M.Sc., Kamis (19/1), ada beberapa hal yang mendasari revisi perlu dilakukan. Salah satunya, ada tumpang tindih aturan.
Ia menilai, UU HKPD bertentangan dengan Undang-undang lainnya, dalam hal ini Undang-undang Nomor 10 tahun 2010 tentang Kepariwisataan. Terutama dalam pengelompokan jenis usaha yang termasuk ke dalam objek Pajak Barang dan jasa Tertentu (PBJT).
Sebab, dalam Pasal 50 dan Pasal 55 UU HKPD, pemerintah mengelompokkan jasa spa ke dalam jasa kesenian dan hiburan. Padahal, di dalam Pasal 14 UU Pariwisata, usaha spa merupakan jenis usaha yang berbeda dengan penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi.
Selain itu, spa bukan industri hiburan. Jasa spa lebih tepat dikelompokkan berbeda dari kegiatan usaha hiburan atau rekreasi sebagaimana yang diatur di dalam UU Pariwisata. Apalagi, secara definisi spa memang bukan bagian dari aktivitas hiburan melainkan perawatan kesehatan.
Spa juga merupakan bagian dari wellness sebagai payung besarnya. “Itu sebabnya, lebih tepat disebut sebagai spa wellness, yang tujuannya mencakup kesehatan promotion dan prevention,” ujarnya.
Hal ini diperkuat dengan tercakupnya spa sebagai salah satu Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan yang diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2 Tahun 2023. Beleid ini mendefinisikan spa sebagai terapi dengan karakteristik tertentu yang kualitasnya dapat diperoleh dengan cara pengolahan maupun alami.
“Kami mengimbau kepada pemerintah untuk segera meninjau kembali, ketentuan mengenai pengelompokan spa sebagai bisnis hiburan. Jika dibiarkan, kami khawatir akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam kegiatan usaha di Indonesia,” ujarnya.
Ia memaparkan spa wellness merupakan komoditas kesehatan bukan hiburan. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 700 suku bangsa dan masing-masing suku bangsa memiliki kekayaan yang berbeda-beda, memiliki praktik bidang kesehatan dan kebugaran.
“Dengan kondisi seperti ini kami baru bisa menemukan 15 etnik pola pengobatan untuk kesehatan dan kebugaran dengan berbagai bukti empirisnya yang dilakukan oleh para ahli yang tergabung dalam Assosiasi IWMA yang dikenal dengan Etna Prana,” ujarnya.
Maka, agar usaha spa wellness yang mengembangkan dan berkomitmen mengimplentasikan Etna Prana dibuktikan para terapisnya sudah bersertifikat sesuai dengan SKKNI sehingga dirinya berharap UU tersebut direvisi.
Ketua Association of Hospitality Leaders Indonesia (AHLI) I Ketut Swabawa mengatakan usaha spa pun hendaknya mendapat insentif pajak khusus agar bisa berkembang membangun ekonomi bangsa. “Maka dari itu kami menyarankan dalam periode tertentu bisa di angka 0% dan setelah berkembang pesat baru dikenakan pajak sebagaimana mestinya karena untuk menerapkan standard spa wellness yang telah ditentukan oleh pemerintah tidak mudah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga jika ditambah beban pajak yang tinggi, tentu akan berdampak pada Kesehatan finansial pelaku usaha,” ujarnya.
Namun yang tak kalah pentingnya, ia berharap peran aktif dari pemerintah untuk membuka ruang diskusi dengan pelaku usaha. Sehingga, memiliki persepsi yang sama dalam terkait hal ini.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Tjok Bagus Pemayun mengatakan, spa adalah aktivitas pendukung pariwisata karena spa Bali terkenal dengan produk tradisionalnya berbasis budaya yang menjadikan Bali the best spa in the world. “Apalagi kitajuga mengenal maboreh oleh leluhur kita untuk membuat bugar fisik dan pikiran kita, dan spa di Bali dilihat dari tahun lahirnya asosiasi spa sudah tumbuh sejak tahun 2002,” ujarnya.
Ia berharap kegiatan spa dapat berjalan dan para pelaku usaha di bidang pariwisata termasuk usaha spa dpaat menjaga kondiusivitas Bali sehingg wisatawan yang datang merasa aman dan nyaman. (Citta Maya/balipost)