DENPASAR, BALIPOST.com – Debat Pilpres keempat antara para calon wakil presiden (cawapres) yang digelar, Minggu (21/1) malam kembali mempertemukan Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD. Para pengamat politik di Bali menilai debat kali ini tak bermutu lantaran minim solusi dan gagasan untuk memecahkan masalah bangsa. Padahal tema debat menentukan nasib bangsa yakni Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa.
Para cawapres beradu gagasan dalam debat untuk merebut hati para pemilih. Namun, debat yang berlangsung selama 3 jam tersebut dinilai belum menyentuh akar-akar masalah dan tidak adu gagasan untuk Indonesia yang lebih baik ke depannya.
Pengamat Politik dari Universitas Warmadewa (Unwar), Anak Agung Gde Brahmantya Murti, SIP., MPA., mengatakan bahwa debat cawapres kedua ini belum banyak menyentuh akar-akar masalah dan membahas bagaimana kebijakan yang hendak diambil atau solusi yang ditawarkan setiap calon. Karena lebih banyak membahas tentang definisi dan konsep, tetapi belum mengerucut ke paket-paket kebijakannya.
Padahal, topik debat ke empat ini sebenarnya cukup penting untuk melihat bagaimana respons paslon terhadap isu-isu pembangunan yang saat ini sedang hangat-hangatnya di level internasional. Beberapa di antaranya pembangunan berkelanjutan dan kondisi pangan kita.
Secara teknis, dikatakan setiap cawapres mempunyai strategi masing-masing yang dilakukan dalam melakukan debat. Cawapres 01 menggunakan konsepsi-konsepsi baru dan unik. Cawapres 02 menggunakan beragam istilah-istilah yang strategi ini sempat dilakukan juga pada debat cawapres sebelumnya. Sedangkan, cawapres 03 menggunakan pengalamannya dalam merespons tema debat tersebut.
Dikatakan, debat membantu memberikan kesempatan bagi para pemilih yang belum menentukan pilihannya untuk dapat melihat kualitas dari paslon. Artinya dari debat pertama hingga terakhir, bisa digunakan sebagai ajang untuk menilai dan menentukan pilihan. Apalagi dengan proporsi pemilih yang didominasi oleh anak muda, hasil debat menjadi pertimbangan mereka dalam menentukan calonnya. Karena ini yang juga menentukan preferensi mereka dalam memilih dan melihat jalannya debat.
Ada yang melihat dari performa teknis saat debat, isu atau substansi saat debat, mungkin sampai cara berpakaian paslon, dan sebagainya.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Ngurah Rai (UNR) Denpasar, Dr. I Gede Wirata, S.Sos.,S.H.,MAP., mengatakan hal yang sama. Dikatakan, debat kedua cawapres lebih banyak adu pengetahuan dibandingkan adu gagasan untuk menuju Indonesia yang lebih baik. Justru, para cawapres terbawa emosi dari pertanyaan dan/atau jawaban yang diberikan, sehingga ejekan-ejekan yang secara samar lebih banyak muncul. “Ini kurang bermutu buat masyarakat.
Debat seharusnya lebih pada adu gagasan untuk menuju Indonesia yang lebih baik, bukan saling ejek. Karena debat kemarin antara pertanyaan dan jawaban banyak yang tidak nyambung, sehingga masyarakat bisa menilai kualitas calon,” ungkap Gede Wirata, Senin (22/1).
Dengan hasil debat yang tidak adu gagasan ini, Gede Wirata mengatakan, akan dampak kepada pemilih. Pemilih yang belum menentukan pilihannya akan merasa kebingungan dalam menentukan pilihan karena merasa kecewa terhadap debat yang mereka tonton.
Padahal, pemilih sangat berharap dengan menonton debat cawapres, para pemilih akan bisa menentukan pilihannya. Namun, dengan debat yang kurang bermutu membuat pemilih merasa kecewa. “Mudah-mudahan pada debat terakhir nanti bisa memberikan penjelasan sesuai dengan harapan masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kepuasan serta mantap untuk memilih salah satu pasangan yang terbaik di antara yang baik,” tandasnya. (Ketut Winatha/balipost)