Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Ada beberapa sebutan yang melekat pada hari suci untuk menghargai atau menghormati tumbuh-tumbuhan: 1) paling populer disebut Tumpek Bubuh, mengajak umat tidak hanya “gebuh” di wacana tetapi bertindak nyata dalam merawat alam; 2) Tumpek Pangatag/Pengarah, maknanya “ngatag” — mengundang atau mengarahkan umat melakukan aksi cinta lingkungan; 3) Tumpek Uduh, tidak sekadar mengimbau –wahai– umat ucapkan doa permohonan agar pohon cepat berbuah (kaki-kaki, malih selae dina galungan, mabuah apang nged nged); dan 4) Tumpek Wariga, peringatannya jatuh pada wuku Wariga, bertujuan mengingatkan umat yang selama ini telah terpenuhi kebutuhan hidupnya (Wareg), hendaknya sadar/eling (Waras) menjaga dan melestarikan alam beserta sumber daya
hayatinya.

Patut diingat, persoalan pelestarian alam, tidak cukup hanya dengan cara ritual, seberapapun tingginya tingkatan dan besaran material upakara bebanten plus biaya modal finansial/kapital dihabiskan. Tidak juga dengan hanya berucap verbal meski terdengar vokal (lantang) sekalipun.

Baca juga:  Membangun Kemandirian Ekonomi Bali

Diperlukan perbaikan behavioral (perilaku) berorientasi environmental — sebagai upaya mengelola sekaligus memberdayakan lingkungan hidup agar secara ber-
kesinambungan tetap bisa menghidupi segenap makhluk. Manusia dalam hal ini menjadi pemegang kunci, mau diapakan atau dibawa kemana masa depan bumi ini, semuanya tergantung pada sikap dan tindakan manusia saat ini.

Kitab suci Bhagawadgita, VII. 6 menyuratkan : “Etadyonini bhutani sarwani’ty upadharaya aham kritsnasya jagatah prabhawah pralayas thata” (ketahuilah bahwa semua mahkluk ini asal kelahirannya di dalam alam-Ku. Aku adalah asal mula dari dunia dan juga kehancurannya. Artinya di balik semua kejadian-kelahiran dan kematian — kehancuran selalu menyela dan bisa dialami kapan saja.

Tak terkecuali kehancuran alam (bhuwana agung), yang tanpa menunggu waktu datangnya pralaya (kiamat), setiap saat bisa juga diluluh-lantakkan manusia (bhuwana alit) ketika pikiran dan tindakannya sudah tidak waras lagi, meski sudah dalam keadaan wareg.

Disadari bahwa, gerak atau bahkan gejolak bhuwana agung begitu besar pengaruhnya terhadap bhuwana alit. Alam dapat memberikan isyarat
tertentu sekiranya telah terjadi disharmoni antara alam dan penghuninya.

Baca juga:  BUM Desa sebagai Penggerak Perekonomian Masyarakat

Kekeringan yang melahirkan kelaparan, banjir dan tanah longsor yang mendatangkan bencana adalah contoh kode alam yang sepatutnya dicerna/dicermati dengan pikiran waras. Bahwa kejadian (musibah) itu adalah bentuk pralaya (kehancuran) kecil sebagai akibat tindakan para penghuni yang seringkali semena-mena memperlakukan alam lingkungannya.

Terutama lewat eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan tanpa kendali. Melalui ritual Tumpek Wariga, dilaksanakan setiap Saniscara Kliwon wuku
Wariga, mengingatkan umat Hindu agar setelah wareg lantaran sudah terpenuhi
kebutuhan hidupnya, langkah selanjutnya tidak boleh berhenti sebatas persembahan ritual pada tumbuh-tumbuhan.

Sebab secara rasional (kewarasan), ritual tersebut baru sebatas tindakan simbolik
yang makna luhurnya seharusnya diimplementasikan lewat aksi kongkret. Contoh paling sederhana tetapi jauh lebih bermakna dan mengenai ketimbang sebatas ritualistik simbolik adalah pada moment pelaksanaan hari suci Tumpek Wariga, umat diundang (atag) serta diarahkan (pengarah) untuk tidak hanya menghaturkan bubur (bubuh), tetapi lebih penting lagi membawa berbagai jenis tumbuhan/pohon.

Baca juga:  Serentak Dilaksanakan di Bali, Ini Makna Filosofi Perayaan Tumpek Wariga

Lalu secara serentak melakukan penanaman, baik di lahan pekarangan rumah, telajakan, teba, kebun, tegalan, hutan desa, dll.

Sesungguhnyalah manusia dan lingkungan alam terikat dan terkait erat satu sama lain. Manusia dapat menumbuhkembangkan eksistensi dirinya berkat terjaminnya supply pangan (wareg), sandang (wastra) dan papan (wisma) secara berkelanjutan. Kesemua itu disiapkan alam sebagai berkah anugerah Tuhan, yang tentunya kemudian oleh manusia sebagai pengguna atau penikmat segenap sumber daya hayatinya wajib hukumnya berpikir, bersikap dan selanjutnya bertindak secara rasional (waras) untuk terus ajeg berkomitmen dengan konsisten serta kontinu merawat, menjaga dan melestarikan keberadaan alam (bhuwana agung) demi terjaminnya keberlanjutan hidup dan kehidupan segenap makhluk (bhuwana alit) di muka bumi ini.

Penulis, Dosen Fak. Pendidikan UNHI Denpasar

 

BAGIKAN