DENPASAR, BALIPOST.com – Berdasarkan data BPS pertumbuhan ekonomi Bali sepanjang tahun 2023 (triwulan I- triwulan IV) tumbuh 5,71 persen (ctc). Angka ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi Bali tak inklusif. Sementara tingkat kunjungan wisman sepanjang 2023 mencapapi 5,273 juta.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelum pandemi yaitu tahun 2019 yang merupakan puncak tertinggi kedatangan wisman, pertumbuhan ekonomi Bali juga berada di bawah 6 persen yaitu 5,60 persen dengan jumlah kedatangan wisman 6,275 juta. Padahal sebelum 2019, dengan tingkat kunjungan wisman lebih rendah dari 2019, pertumbuhan ekonomi selalu di atas nasional yaitu 6 persen (ctc). Seperti tahun 2018 pertumbuhan ekonomi 6,31 (ctc), tahun 2016 tumbuh 6,33 (ctc), tahun 2015 tumbuh 6,03 (ctc).
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Bali, Endang Retno Sri Subiyandani, Senin (5/2) mengatakan, pertumbuhan ekonomi Bali masih didominasi oleh lapangan usaha pariwisata. “Bali sangat kuat sekali untuk akomodasi makan minum,” ujarnya.
Pertumbuhan lapangan usaha akmamin (pariwisata) sepanjang tahun 2023 16,16 persen begitu juga transportasi dan pergudangan (berkaitan dengan pariwisata) tumbuh tinggi 25,29 persen. Dan pertumbuhan tertinggi ketiga adalah jasa keuangan dan asuransi tumbuh 13,35 persen. Sementara lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan tumbuh minus (-0,59 persen). Kontribusi akmamin pada PDRB juga tertinggi mencapai 19,93 persen.
Namun, kegiatan pariwisata tidak sepenuhnya dinikmati orang Bali. Tahun 2019 PDRB Bali Rp57,76 juta per tahun, meningkat menjadi Rp62,29 juta tahun 2023. Meski meningkat, namun menurutnya faktor-faktor produksi dari PDRB tersebut, ada yang dimiliki orang luar. Produktivitas orang Bali meningkat jika faktor produksi tersebut dimiliki oleh orang lokal.
‘’Masalahnya, angka PDRB itu diperoleh tidak hanya dilakukan oleh orang lokal tapi juga orang asing dan dari luar. Tapi bukan berarti dinikmati oleh penduduk di Bali. Efek dari PDRB yang tinggi juga dinikmati oleh masyarakat di Bali walaupun tidak semuanya ada di Bali, bisa saja diekspor, dan sebagainya, atau mungkin keluar Bali,” jelasnya.
Pengamat pariwisata Bali Prof. Nengah Dasi Astawa mengatakan, semakin berkembangnya pariwisata Bali, semakin tidak inklusif dirasakan masyarakat Bali. Hal ini terjadi diduga karena pariwisata Bali digerakkan oleh invisble hand. “Sekarang banyak orang berteriak bahwa Bali ini pariwisatanya tidak inklusif, terutama untuk orang lokal Bali karena 80-85 persen pariwisata Bali digerakkan oleh kekuatan invisible hand. Lalu di mana inklusifnya? Ini juga perlu kita pertimbangkan, agar jangan tidak mendapatkan trickling down impact, karena trickling down impact kan karena ada pertumbuhan dan aktivitas, agar jangan dia (invisible hand) yang mendapatkan trickling impact-nya,” ujarnya.
Sementara Akademisi Ekonomi dari Universitas Udayana Prof. Wayan Ramantha mengatakan, belum tingginya pertumbuhan ekonomi membuktikan bahwa sebetulnya ekonomi Bali belum pulih 100 persen seperti sebelum Covid-19. Meski kedatangan wisman surah mengalami peningkatan jumlah orang namun mengalami penurunan dari sisi pengeluaran (spending money) per hari dan rata-rata lama tinggal di Bali. Sehingga daya ungkitnya terhadap pertumbuhan ekonomi Bali belum seperti sebelum Covid-19.
“Pertumbuhan ekonomi Bali sudah semakin inklusif (menyebar hingga ke pedesaan) seiring dengan perkembangan desa wisata, namun karena pertumbuhan ekonomi di sektor yang terkait pariwisata belum pulih maka rata-rata pertumbuhannya masih di kisaran 5 persen,” ujarnya.
Belum tingginya pertumbuhan ekonomi juga karena belum pulihnya sektor selain pariwisata. Ditambah sektor utama penyumbang PDRB (pariwisata), owner atau pemilik usaha kebanyakan orang luar Bali bahkan orang asing, terutama hotel – hotel besar. “Ambil saja sampelnya di kawasan ITDC, apakah ada hotel milik orang Bali? BUMN hanya satu, sisanya milik swasta,’’ ujarnya. (Citta Maya/balipost)