Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Seperti sudah lumrah dilakukan, tanggal 14 Februari oleh masyarakat  dunia, khususnya kalangan muda  generasi milineal hingga Gen-Z merayakan “Valentine”,  hari yang telah diproklamirkan sebagai Hari Kasih Sayang. Seakan tidak ingin ketinggalan dengan tradisi masyarakat modern di era global, peringatan hari tersebut yang berasal dan bergaya Barat itu juga dirayakan di Indonesia termasuk Bali.

Kali ini di tahun 2024, saat pesta demokrasi lewat pemilu dilaksanakan tanggal 14 Februari hari ini, sepertinya layak juga disebut sebagai “Hari Kasih Suara”, bagi seluruh warga negara RI yang memiliki hak politik menentukan pilihan terhadap paslon Presiden/Wakil Presiden.

Inspirasi yang didapat dari hari valentine berbarengan dengan pemungutan suara, mengajak para pemilih dengan rasa cinta pada bangsa dan negara dapat memberikan suaranya pada pasangan calon Presiden/Wakil Presiden pilihannya. Jika calonnya menang patut bersyukur, kalau ternyata kalah tetaplah menunjukkan rasa kasih pada pesaing. Tiada gunanya mengekspresikan apalagi sampai melampiaskan amarah yang tak akan mendatangkan berkah.

Baca juga:  SDM, Pilkada dan Indonesia Emas

Kecuali memantik masalah lalu memancing keributan (makerah/macokrah), bahkan hingga berdarah-darah. Oleh karena itu patut disadari, siapapun pemenangnya, merekalah yang akan menduduki kekuasaan dengan segala kewenangan. Sementara para pemilih harus kembali pada kehidupan normalnya, rutin mencari nafkah guna menghidupi keluarga masing-masing.

Hidup ini adalah realita dengan segala fenomena, dinamika dan problematikanya. Mengikuti arus euforia pesta demokrasi sah-sah saja. Tetapi itu hanya bersifat sesaat, sedangkan kehidupan sehari-hari adalah nyata adanya, Setiap orang cenderung fokus mengurus kebutuhan, keperluan atau kepentingan pribadi/keluarga.

Saat itulah baru disadari bahwa yang menentukan keberlangsungan hidup masing-masing adalah diri sendiri, bukan orang lain, termasuk pemimpin yang saat kampanye begitu menarik, penuh simpatik tetapi tatkala rakyat menjerit lantaran terhimpit/terjepit kesulitan ternyata tak mau melirik, apalagi hendak menaikkan derajat kehidupan.

Baca juga:  Jelang Penetapan Penghitungan Suara Pemilu 2024, Menkopolhukam Sebut Situasi Masih Kondusif

Pelajaran yang didapat dari realita di atas, mengajak masyarakat khususnya para pemilih untuk lebih mengedepankan sisi rasional daripada emosional, apalagi yang berbau transaksional. Artinya, dalam menentukan pilihan, jadilah  pemilih cerdas, mampu memilah dan memilih calon pemimpin yang (nantinya) sesuai harapan.

Beranalogi pada buah manggis, pasti dapat dengan mudah menebak bagian dalamnya, berapa jumlah isi batunya. Berbeda dengan menerka, tepatnya mengetahui seberapa berkualitasnya diri seseorang. Apalagi jika dikaitkan dengan pemilihan calon pemimpin bangsa.

Tidak mudah memang, meski isi pikirannya (gagasan) sudah disampaikan melalui orasi berapi-api. Itu baru sebatas wacana (verbal) yang bisa dengan mudah dinarasikan lewat kepiawian bersilat lidah. Apalagi  disertai berbagai setingan untuk lebih meyakinkan rakyat.

Oleh karena itu, ada baiknya mencoba rumus “3B” yang diadopsi dari falsafah Jawa saat memilih calon pasangan hidup, yaitu : Bibit, Bebet dan Bobot. Faktor Bibit menyangkut bakat bawaan sejak lahir. Potensi Bibit dapat tumbuh berkembang disuport unsur Bebet, berkaitan dengan lingkungan, baik yang menyangkut pendidikan maupun status sosial ekonominya.

Baca juga:  Literasi Pemanasan Global

Sinergi Bibit dan Bebet inilah nantinya menghasilkan, tepatnya menjadikan seseorang berbobot. Artinya memiliki kualitas diri, baik secara lahir (sehat jasmani) maupun batin (sehat rohani).

Meliputi keimanan (sradha), kecerdasan intelektual (intelegency : tattwa-jnana), kepekaan emosional (rasa: intuisi), kesadaran spiritual, yang kesemuanya tentu saja ditunjang  pendidikan, pekerjaan, kondisi sosial ekonomi, dan unsur lain penopang kehidupan. Melalui kolaborasi falsafah 3-B dimaksud, kiranya dapat memastikan, bahwa seseorang, lebih-lebih calon pemimpin dapat menunjukkan kualitas bobot dirinya. Istilahnya “Bebotoh”, bobot yang dipertaruhkan,  bukan “Mamotoh” kepentingan atau kedudukan/kekuasaan yang diperjuangkan.

Pemimpin yang telah terbukti mampu menunjukkan bobot itulah yang pada tanggal 14 Februari berbarengan hari Valentine dan pemilu patut dikasi suara, agar tidak menyesal di kemudian hari.

Penulis, Dosen Fak. Pendidikan UNHI Denpasar

 

BAGIKAN