Dhanny S. Sutopo. (BP/Istimewa)

Oleh Dhanny S. Sutopo

Dalam dinamika perubahan politik, transisi kekuasaan membawa implikasi yang signifikan terhadap arah pembangunan suatu negara, terutama terhadap kebijakan yang telah lahir dari rezim sebelumnya. Kita tahu dalam dua kali masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pembangunan desa seolah menjadi “anak emas” dari setiap kebijakannya.

Gempita keberhasilan kebijakan yang “prodesa” tersebut sulit terbantahkan. Maka salah satu dag dig dug dari seorang pemimpin baru apakah kebijakan pembangunan desa juga diberi panggung pada masa kepemimpinannya. Dalam buku “The 360° Leadership” karya John C. Maxwell, disebutkan pemimpin yang mumpuni adalah mereka yang dapat memimpin orang dibawahnya, orang yang sederajatnya atau selevelnya juga mempunyai kemampuan memimpin insan-insan
yang berada diatas dirinya.

Sekadar memanggil ingatan bagaimana kebijakan pembangunan desa menempuh jalan terjal nan berliku. Pembangunan dan strategi desa di Indonesia telah mengalami transformasi yang signifikan sepanjang sejarahnya, dari masa Orde Lama pasca kemerdekaan di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno hingga masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.

Setiap periode pemerintahan tersebut meninggalkan pola pembangunan yang berbeda-beda yang mencerminkan jejak sejarah pembangunan desa di Indonesia. Era reformasi membawa angin segar demokrasi baru yang berdampak langsung pada pembangunan desa.

Baca juga:  Prospek Bedah Plastik Rekontruksi

Konsep demokrasi yang baru diperkenalkan membawa perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi, yang melibatkan tata kelola pembangunan desa. Pergeseran menuju desentralisasi ini jika dikaji lebih dalam juga tidak kalah menarik.

Karena memiliki dampak yang signifikan pada
pembangunan desa. Perubahan dalam struktur pemerintahan membawa implikasi besar dalam
penyelenggaraan pembangunan di tingkat desa,
memungkinkan partisipasi masyarakat setempat dan pengambilan keputusan yang lebih akomodatif terhadap kebutuhan serta aspirasi lokal.

Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang dinamika desentralisasi menjadi krusial dalam upaya memajukan pembangunan desa di Indonesia. Setelah satu dekade berlalu sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Indonesia mengalami perubahan signifikan melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa.

Meskipun kemungkinan besar undang-undang ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik oleh partai-partai politik yang terlibat, keberadaannya memberikan kepastian hukum bagi masyarakat desa dan desa adat serta memberikan harapan akan kesejahteraan dan perbaikan pemerintahan. UU No. 6 Tahun 2014, terutama menitikberatkan pada aspek pendanaan dan alokasi anggaran untuk setiap desa, meskipun terdapat indikator kesejahteraan substansial lainnya yang disebutkan.

Baca juga:  Penting, Pengendalian Konsumsi Rokok lewat Pola Kepemimpinan

Selain mengembalikan kedudukan hukum desa sebagai entitas masyarakat yang sah, undang-undang ini juga memberikan kewenangan kepada desa untuk menjalankan pemerintahan demokratisnya sendiri, dengan prinsip-prinsip pengakuan dan subsidiaritas sebagai landasan, yang menekankan pada otonomi dan hak asal usul.

Meskipun lahirnya UU Desa memberikan harapan bagi masyarakat desa setelah periode panjang menunggu otonomi desa dan masa depannya, namun implementasinya belum sepenuhnya sesuai dengan ekspektasi. Dengan jumlah desa mencapai 74.961, pengelolaan desa saat ini tidak selaras dengan kondisi aktual, terutama dalam hal kedudukan masyarakat
adat, demokratisasi, partisipasi masyarakat, dan pemerataan pembangunan, yang menyebabkan
ketidaksetaraan regional, kemiskinan, dan tantangan lainnya.

Ketika terjadi pergantian kepemimpinan, baik di tingkat negara maju maupun negara berkembang, seringkali terjadi perubahan kebijakan yang signifikan. Misalnya, di Amerika Serikat, setiap kali terjadi pemilihan presiden baru, kemungkinan besar akan ada perubahan kebijakan yang mencolok.

Baca juga:  Kekuasaan dan Kemuraman Demokrasi

Sebagai kasus nyata, ketika Presiden Donald Trump menggantikan Presiden Barack Obama, terjadi perubahan signifikan dalam banyak aspek kebijakan. Trump menarik Amerika Serikat dari Perjanjian Perubahan Iklim Paris yang telah diratifikasi oleh Obama, menyoroti perbedaan dalam pendekatan terhadap masalah lingkungan antara kedua presiden tersebut.

Di negara-negara berkembang, perubahan kebijakan juga sering terjadi ketika terjadi pergantian kepemimpinan. Pemimpin baru sering ingin menunjukkan bahwa mereka membawa perubahan dan inovasi, bahkan jika itu berarti menolak kebijakan yang telah terbukti berhasil di masa lalu. Sebagai contoh, ketika pemimpin baru terpilih di sebuah negara berkembang, seperti Indonesia, sering kali terjadi perubahan kebijakan yang mencolok.

Misalnya, ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil alih kekuasaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ada penekanan yang lebih besar pada pembangunan infrastruktur dan program-program ekonomi inklusif, sementara SBY lebih fokus pada stabilitas makroekonomi dan reformasi struktural.

Penulis, Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya

BAGIKAN