DENPASAR, BALIPOST.com – Lebih dari 60 orang warga Desa Adat Munduk, Kabupaten Buleleng, dan sekitarnya mendatangi Kantor Majelis Desa Adat Bali di Renon Denpasar, Senin (18/3). Kedatangan puluhan warga dengan pakaian adat lengkap ini bertujuan untuk menolak pemekaran Desa Adat Tamblingan.
Desa Adat Dalem Tamblingan terdiri dari empat desa adat yakni Desa Adat Munduk, Desa Adat Gobleg, Desa Adat Uma Jero, dan Desa Adat Gesing. Dalam wilayah Desa Adat Munduk, ada Banjar Tamblingan. Dan Banjar Tamblingan inilah yang berinisiatif memekarkan diri menjadi desa adat sendiri.
Namun hingga saat ini terjadi pro dan kontra sehingga seluruh masyarakat Desa Adat Munduk dan sekitarnya menolak. Selain menolak pemekaran desa adat, kedatangan warga ini juga mendesak agar SK Pemekaran Desa dicabut karena cacat hukum.
Ketua Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan, Jero Putu Ardhana mengatakan, penolakan pembentukan desa adat baru yang bernama Desa Adat Tamblingan itu sangat beralasan. Pertama, pemekaran tersebut tidak didukung sama sekali oleh desa adat induk yakni Desa Adat Munduk.
Pemekaran tersebut hanya inisiatif beberapa orang saja yang tidak memiliki dasar yang kuat. Kedua, kasus ini sudah berlangsung sekian lama dan pihaknya sudah menempuh proses hukum di pengadilan hingga ke tingkat Makamah Agung dan semuanya dinyatakan menang.
Ketiga, pemekaran ini bila ditinjau secara sosial budaya, khususnya di masyarakat Adat Dalem Tamblingan yang hanya memiliki 4 desa adat atau catur desa. Ia menilai adanya desa baru ini akan membingungkan dan menciptakan suasana sosial budaya yang tidak kondusif di tengah masyarakat.
Sebab kawasan Masyarakat Adat Dalem Tamblingan memiliki belasan pura, yang secara adat dan budaya Bali akan sangat membingungkan bila ada desa adat yang baru. “Kami juga tidak paham. Secara hukum kita menang sampai di tingkat Makamah Agung. Masyarakat di desa induk juga tidak mendukung. Kenapa SK Pembentukan Desa Adat Tamblingan tidak segera dicabut? Persoalan sangat berlarut-larut. Sementara di lapangan, suasana sosial budaya tidak kondusif dan ini yang sangat mengkuatirkan,” ujarnya.
Ia juga mengatakan, perwakilan warga dari 4 desa adat ini sudah beberapa beraudiensi dengan DPRD Buleleng, dengan Forkopimda Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, DPRD Bali. Semua stakeholder ini selalu dengan tegas meminta agar SK Pembentukan Desa Adat Tamblingan dicabut.
Bahkan, seorang inisiator bernama I Nengah Punia juga sudah bersurat secara resmi kepada MDA agar SK Pemekaran Desa Adat Tamblingan dicabut. Namun hingga kini pihak MDA tidak mencabut atau belum pernah mencabutnya.
Akibatnya, nama Desa Adat Tamblingan tetap berada di daftar desa adat di Bali. Protes terhadap persoalan ini juga sudah sering dilakukan. Namun tidak digubris oleh MDA Bali. “Ini perjuangan yang sudah lama. Kenapa MDA belum cabut, itulah yang tidak paham,” ujarnya.
Rombongan warga ke Kantor MDA Bali ditemui Petajuh Bendesa Agung MDA Bali, Made Wena. Saat dikonfirmasi, mantan komisioner Bawaslu Bali itu mengatakan, dirinya hanya menerima dan menampung aspirasi dari puluhan warga Masyarakat Adat Dalem Tamblingan.
Soal keputusan dan kapannya tergantung pada pleno.” “Saya bukan dalam kapasitas menjawab persoalan yang disampaikan. Tugas saya hanya menemui warga, menyerap aspirasi dan kemudian akan dibawa ke pleno. Soal bagaimana keputusan itu tergantung pleno nanti,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)