Cokorda Sawitri. (BP/www.basabali.org)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali kehilangan sastrawan dan budayawan kenamaan, Cokorda Sawitri, yang sehari-harinya kerap dipanggil Cok Sawitri. Penyair kelahiran Sidemen, Karangasem, 1 September 1968 ini berpulang Kamis (4/4) pagi hari di rumahnya, Jalan Batanghari, Renon, Denpasar.

Dayu Emi, salah satu keponakan Cok Sawitri membenarkan berpulangnya novelis itu, Kamis pagi. Saat ini jenazah Cok Sawitri sudah disemayamkan di rumahnya, di Jro Gede Sidemen, Karangasem.

‘’Tadi pagi tiang ditelepon ibu tiang, Cok Rupini (adik kandung Cok Sawitri). Tiang kira Bu Cok Sawitri sakit dan pingsan. Tetapi setelah tiang sampai di Jalan Batanghari, Bu Cok sudah tidak bisa ditolong lagi. Rencana keluarga, jenazah Bu Cok, akan di-kinsan di geni pada 10 April 2024. Tapi keputusan final, masih menunggu paman tiang di Jerman datang,’’ ujarnya.

Namun, dari kabar terakhir, jenazah Cok Sawitri dikremasi pada Jumat (5/4) di Bebalang, Bangli.

Kepergian penulis produktif ini mengagetkan banyak pihak. Penyair Warih Wisatsana, misalnya, mengaku kehilangan sosok Cok Sawitri. Dia mengenal Cok Sawitri saat sama-sama menjadi anggota Sanggar Minum Kopi. Kemudian sama-sama aktif menulis puisi di Bali Post.

Baca juga:  Razia Tempat Hiburan Malam, Pengguna Narkoba Diamankan 

Bahkan pernah terlibat dalam seni pertunjukan yang digagas perupa Nyoman Erawan: Ruwatan Bumi di Taman Budaya (2000) hingga Salvation of The Soul, Ritus Bunyi Kata Rupa” di Antida Denpasar, pada 15 Maret 2014. Pertemuannya terakhir pada acara Festival Bali Berkisah, 10 Desember 2023.

Menurut Warih, karya-karya Cok Sawitri memiliki kekuatan tersendiri. Dia menggali dan memberi warna baru pada kisahan, serta filosofi, berikut nilai-nilai warisan leluhur.

Tradisi disikapi Cok Sawitri dengan kecintaan yang dalam dan kreativitas tinggi, guna meraih kebaruan yang kontekstual dengan kekinian.

Sementara itu dikutip dari berbagai sumber, Cok Sawitri dikenal sebagai sastrawan– penyair, prosais, dan dramawan yang produktif. Selain sebagai seniman, ia juga kerap terlibat dalam gerakan sosial. Karya-karya Cok Sawitri, baik berupa puisi, novel, cerpen, naskah drama, tersebar di media massa lokal dan nasional serta pada buku-buku yang diterbitkan penerbit di Jakarta maupun di Bali.

Di media massa, karya-karyanya bisa ditemukan di Bali Post, Bali Echo, Nusa Tenggara, Lalitudes, Jurnal Kalam, Kompas, Gatra, Jurnal Perempuan, The Jakarta Post, Bali Rebound, dan lain-lain. Di bidang gerakan sosial, ia pendiri dan aktif bergerak di Forum Perempuan Mitra Kasih Bali dan Kelompok Tulus Ngayah Bali. Novelnya yang terkenal dan dibicarakan di banyak tempat, antara lain Sutasoma dan Sitayana.

Baca juga:  Menlu Retno : G20 Harus Jadi Solusi Tantangan Global

Selain itu, novelnya yang fenomenal dan menjadi perbincangan di kalangan penggemar sastra adalah Trilogi Jirah, yaitu Janda dari Jirah, Si Rarung dan Manggali Kalki. Novel Janda dari Jirah, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul ‘’The Widow of Jirah’’.

Tahun 2022 Cok Sawitri mendapat penghargaan seni Bali Jani Nugraha dari Pemerintah Provinsi Bali, dan setelah itu ia menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul ‘’Setahun Kematian Semilyar Nyanyianku Mati’’, Kiamatku Dalam Jarak 3 Centimeter’’ yang diterbitkan Mahima Institute Indonesia.

Sebagai pemain teater, Cok Cawitri lihai dalam menyajikan peran. Vokal, teknik dan penjiwaannya begitu kuat. Ketika bermain teater bukanlah Cok Sawitri yang tampak, melainkan tokoh yang diperankan. Kegiatan bermaian teater telah dilakukan sejak kecil.

Baca juga:  HUT ke-71 Bali Post, Temui Pembaca Setia di Pasar Badung

Semua itu diawali dari kebiasaan menari Bali, matembang dan kegiatan seni tradisional lainnya.
Selain bermain teater, Cok Sawitri juga menulis Cerpen, puisi dan esai. Karya puisinya juga sering menjadi pilihan wajib dalam lomba, bahkan bagi para pecinta musikalisasi juga memilih puisi karya-karyanya.

Walau aktif dalam seni sastra, Cok Sawitri juga memiliki pengalaman dalam seni pertunjukan tradisi. Ia pernah berproses dalam seni tari Arja sebagai Raja Buduh dan Limbur (2002-2005), pernah menari Kakang-kakang dalam Gambuh (2005-2008), tampil dalam seni gegirah (Rangda) 1990-2004 dan sebagainya.

Aktivitas berkesenian Cok Sawitri tak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Pengalaman pentas di luar negeri, seperti India, Singapore, Malaysia dan pada tahun 2000-2004 mengajar untuk teater di Fine Art Malaysia.

Ia juga pernah sebagai Delegasi Indonesia, Frankfrut Book Fair tahun 2015, dan sebagai Delegasi Indonesia untuk Temu Budaya ( Maroko dan Tunisia) tahun 2016, serta Residensi Penulis 2016, AS-California. (Subrata/balipost)

BAGIKAN