Kepala OJK Provinsi Bali Kristrianti Puji Rahayu. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – OJK meminta agar BPR membuat action plan dalam memenuhi syarat permodalan.

Kepala OJK Provinsi Bali Kristrianti Puji Rahayu didampingi Direktur Pengawasan LJK OJK Provinsi Bali Ananda R. Mooy, Selasa (2/4) mengatakan, 3 tahun mengalami Pandemi COVID-19 telah meninggalkan persoalan. Secara agregat, kondisi BPR di Bali cukup bagus dengan rasio CAR (permodalan) cukup baik.

“Namun secara individu BPR pasti ada masalah, tapi kita bisa manage dengan baik. Kita sudah identifikasi masing-maasing BPR dan sudah menemukan. Tapi sangat sedikit yang punya masalah. Kalau kita lihat ke belakang bukan karena pandemi tapi telah bermasalah sebelumnya. Maka dari itu kami dorong agar mencari investor baru agar lebih kuat dan mampu memperbaiki kondisi BPR-nya,” bebernya.

Menurut Puji pihaknya telah melakukan action plan dan pengawasan ketat. Progressnya cukup bagus karena sudah ada investor baru dan dalam proses akuisisi.

Selain itu ada juga BPR yang telah ikhlas menjual agar semakin kuat. Namun ada beberapa tantangan saat ini yaitu pemenuhan modal inti akhir Desember 2024 minimal Rp6 miliar.

Baca juga:  Lembaga Keuangan Indonesia Tidak Ada Berkaitan Langsung Dengan SVB

Bahkan BPR yang telah memenuhi modal inti pun bisa kembali turun dengan kondisi saat ini yang masih rugi. “Jadi yang sudah mencapai modal inti Rp6 miliar bisa turun CAR-nya karena kerugian, jadi tantangan pengawas melakukan action plan dan mendorong BPR melakukan merger dan merger adalah suatu keharusan,” tandasnya.

Kondisi BPR ini tak lepas dari berakhirnya restrukturisasi kredit COVID-19 per akhir Maret 2024 bahkan kondisi COVID-19 telah dicabut pertengahan 2023. Dari kesimpulan kondisi itu, OJK menilai restrukturisasi kredit COVID-19 tidak perlu dilanjutkan.

“Karena kondisi sudah memungkinkan, sudah mendukung untuk diakhiri, praktek pun sudah tidak ada, termasuk BPD Bali. Ini kesempatan berbenah artinya sekarang sudah kembali ke normal. Kalau dilanjutkan maka moral hazzard-nya, debitur sudah tidak perlu lagi restrukturisasi kredit. Jadi kalau masih ada kebijakan restrukturisaai maka akan digunakan kesempatan itu untuk terus menunda-nunda,” ujar Puji.

Ananda R. Mooy menambahkan, sampai dengan saat ini perkembangan BPR juga menunjukkan peningkatan. Dari sisi penyaluran kredit, per Desember 2023 mencapai Rp12,8 triliun sedangkan Desember 2019 Rp 11,2 triliun.

Baca juga:  2019, DTW Ulundanu Beratan Target Satu Juta Kunjungan

Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh luar biasa. Per Desember 2023 mencapai Rp16,2 triliun sedangkan Desember 2019 Rp12,5 triliun. “Jadi pertumbuhannya mencapai 12,13 persen yoy, sangat tinggi. Dari jenisnya, tabungan (dana murah) yang menunjukkan rasio peningkatan cukup bagus. Itu artinya BPR kita masih dipercaya oleh masyarakat,” imbuhnya.

Dari sisi kredit, dana yang dihimpun di Bali disalurkan di Bali, peningkatannya cukup besar, tumbuh tinggi 48,8 persen dan dari Desember 2021, 2022, tren menignkat terus meskipun dari sisi LDR lebih rendah dari 2019 yaitu 70,49 persen karena LDR 2023 sebesar 65,64 persen. CAR cukup kuat, per Januari 2023 rasionya 31,96 persen, cukup kuat karena minimal 12 persen dan LaR juga turun.

“Bukan karena kredit yang disalurkan lemah tapi karena DPKnya tumbuh sangat tinggi. Artinya masyarakat lebih tinggi tingkat kepercayaannya pada industri BPR di Bali dibanding 2019. Orang Bali percaya terhadap BPR sedangkan penyaluran kreditnya memang perlu hati- hati. Kalau kondisi normal mungkin ekspansinya lebih tinggi lagi dan LDR diharapkan 80 persen agar untung,” jelasnya.

Baca juga:  Restrukturisasi Kredit Diperpanjang Hingga Maret 2022

Sementara rasio Return on asset (ROA) BPR dikatakan memang masih rendah di Bali karena ekspansi kurang yaitu -0,74 persen, rasio Beban Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) di atas 100 karena penyaluran kredit belum kencang. OJK mendorong BPR lebih ekspansif dalam koridor kehati-hatian, agar LDR bisa naik 80 persen.

“Karena pendapatan utama BPR saat ini kan dari kredit maka kredit yang harus didorong agar meningkat, agar BOPO di atas 100, ROA minus juga karena adanya pembentukan cadangan karena pasca COVID banyak kredit direstrukturisasi, sekarang dengan restrukturisasi normal maka akan menurunkan kualitas kredit,” ungkapnya.

Dengan restrukturisasi normal, dalam waktu 3 bulan diharapkan dapat mengangsur secara normal. NPL BPR per Januari 2024 sebesar 12,66 persen diprediksi akan meningkat lagi menjadi 13 persen.

Jika dapat diangsur secara normal, sementara karena dampak menggunakan restrukturisasi COVID akan terlihat meningkat namun setelah menggunkan kebijakan restrukturisasi normal, maka akan menurun 3 bulan kemudian. “Kami tetap mendorong industri supaya bisa perbaiki kualitas kreditnya,” imbuhnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN