DENPASAR, BALIPOST.com – Para penyehat tradisional supranatural berbasis agama keberadaannya masih eksis hingga hari ini. Di Bali, para penyehat ini dikenal sebagai “Balian”. Dipandang perlu untuk memberikan pelindungan hukum bagi praktik para penyehat tradisional ini agar memberi manfaat optimal bagi masyarakat.
Menurut Ketua DPP Gotra Pangusadha Bali, Dr. I Putu Suta Sadnyana, S.H., M.H., masih eksisnya para penyehat dengan kekuatan supranatutal berbasis agama, menunjukkan masyarakat masih membutuhkan dan masih mempercayai sebagai solusi masalah kesehatannya. “Para penyehat tradisional supranatural berbasis agama ini tetap eksis tidak hanya di Bali tetapi hampir di semua wilayah di Indonesia. Ini menunjukkan keberfungsian mereka di dalam masyarakat,” kata Suta Sadnyana saat diwawancarai Bali Post Talk.
Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktiknya, mereka yang di Bali lebih dikenal sebagai balian, menurut pemilik dua gelar doktor ini, ada yang dapat merugikan pasien atau kliennya. Sehingga dengan demikian, perlu dibuatkan ketentuan perundangan yang mengatur keberadaannya.
Beranjak dari fenomena inilah, Suta yang juga aktif sebagai advokat ini melakukan penelitian mengenai aspek hukum penyehat supranatural berbasis agama saat menempuh Doktor Ilmu Hukum di Universitas Brawijaya Malang. “Hasil penelitian sebagai desertasi saat menempuh doktor ilmu hukum di Universitas Brawijaya ini saya tuangkan dalam buku, Aspek Hukum Penyehat Tradisional Supranatural,” ujar mantan jurnalis beberapa media ini.
Suta Sadnyana berharap bahwa balian-balian di Bali dalam melakukan tugasnya menjadi penyehat dapat terlindungi secara hukum. Langkah penting adalah bagaimana agar balian yang mengandalkan penyembuhannya bukan pada ramuan melainkan kekuatan supranatural juga dapat mendaftarkan dirinya kepada instansi pemerintahan dan mendapatkan surat tanda terdaftar. “Dengan demikian keberadaan balian di Bali dapat terpantau dan menjalankan fungsinya tidak merugikan pasien,” ujarnya.
Suta saat ujian doktoralnya di Universitas Brawijaya Malang mengatakan, dalam norma peraturan hukum saat ini yang mengatur pelayanan kesehatan tradisional empiris terdapat ketidakjelasan norma hukum. Hal ini terlihat dalam norma hukum Pasal 160 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Hanya mengatur pelayanan kesehatan yang menggunakan keterampilan dan ramuan.
“Metode supranatural dan metode pendekatan agama tidak masuk dalam kualifikasi keterampilan atau ramuan. Sehingga ketidakjelasan norma hukum tersebut berimplikasi tidak adanya kepastian hukum dan keadilan yang memberikan perlindungan hukum terhadap penyehat tradisional yang menggunakan metode supranatural dan pendekatan agama dalam praktik layanan kesehatan untuk masyarakat,” imbuhnya.
Dari hasil penelitian untuk desertasinya ini juga diharapkan ke depan bisa menjadi dukungan untuk profesi penyehat tradisional dalam praktik pelayanan kesehatan berbasis kearifan lokal dengan metode supranatural dan pendekatan agama.
“Sebagai subjek hukum yang memerlukan perlindungan hukum, karena profesi tersebut masih fungsional yaitu dibutuhkan oleh masyarakat,” ucapnya.
Ia juga menjelaskan, implikasi ketidakjelasan norma hukum dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yaitu norma hukumnya dalam Pasal 160 ayat (1) tidak memberikan perlindungan hukum bagi profesi penyehat tradisional dalam praktik pelayanan kesehatan berbasis kearifan lokal dengan metode supranatural dan pendekatan agama. Sehingga menimbulkan multitafsir yang dapat berakibat penyehat tradisional berbasis kearifan lokal dengan metode supranatural dan pendekatan agama dituntut atas perbuatan melawan hukum.
“Oleh karena itu diperlukan adanya reformulasi norma Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dengan mencantumkan penyehat tradisional dalam pelayanan kesehatan berbasis kearifan lokal dengan metode supranatural dan pendekatan agama di dalamnya. Sehingga memberikan kepastian hukum,” ujar Suta yang juga seorang advokat dan mantan redaktur media cetak ini. (Nyoman Winata/balipost)