DENPASAR, BALIPOST.com – Suplai kakao dunia menurun akibat produksi di dua negara produsen terbesar yaitu di Pantai Gading dan Ghana mengalami penurunan. Harga kakao pun melejit sehingga berpeluang bagi Bali untuk mengambil pasar itu. Demikian disampaikan Akademisi Pertanian dari Universitas Udayana, Prof. I Gusti Agung Ayu Ambarawati, Selasa (16/4).
Ia mengatakan harga kakao di pasar dunia, termasuk di London dan New York mengalami kenaikan. Ini dinilainya sebagai kesempatan baik bagi Indonesia sebagai salah satu negara penghasil kakao dunia.
Ambarawati mengungkapkan sekarang petani sedang menikmati harga tinggi karena kenaikannya dua kali lipat dari harga biasanya. Di tingkat petani, kakao kering asalan mencapai Rp70 ribu dari sebelumnya Rp30ribu sampai Rp 40ribu. “Kalau di tingkat pedagang sudah Rp100 ribu,” ungkapnya.
Kekurangan pasokan dunia ini sudah dirasa sejak 4 bulan lalu. Akibatnya industri coklat kelimpungan karena permintaan tetap sedangkan suplainya menurun. Bahkan industri coklat di negara maju telah banyak melakukan PHK termasuk di Indonesia karena tidak bisa memenuhi kapasitas mesin.
Sementara Indonesia sebagai negara pengekspor juga pengimpor karena banyak berkembang industri coklat di Indonesia dari luar yang berinvestasi di Indonesia selain berkembangnya industri coklat kecil di Indonesia.
Petani yang ada di Buleleng, Jembrana dan Tabanan bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk jangka panjang. Namun permasalahannya saat ini adalah berupaya menjaga produksi yang baik karena kakao akan terus diminati.
Karena ia melihat kelebihan kakao dibandingkan komoditas lainnya seperti kopi yaitu tidak ada substitusi untuk bahan baku coklat. Coklat dibutuhkan untuk makanan dan minuman serta campuran bahan lain.
Meski Bali bukan pemain besar di Indonesia seperti halnya Sulawesi, produksi kakao asal Bali hendaknya lebih berkualitas agar lebih dinilai tinggi. Produksi kakao di Bali sesuai data BPS yaitu 4.700 ton di 2022, menurun dibanding 2021. (Citta Maya/balipost)