Oleh A.A. Ketut Jelantik, M.Pd.
Sah. Kurikulum Merdeka akhirnya ditetapkan sebagai kerangka dasar dan struktur kurikulum satuan pendidikan di Indonesia. Penetapan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum yang berlaku secara Nasional ditandai dengan launching Permendikbudristek Nomor 12 tahun 2024 yang dilakukan langsung oleh Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim akhir Februari lalu.
Meski pemberlakuan telah ditetapkan secara nasional, namun pemerintah masih memberikan 3 tahun masa transisi bagi sekolah di daerah yang masuk kategori Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T).
Lahirnya Permendikbudristek 12 tahun 2024 merupakan titik kulminasi dari perjalanan panjang proses lahirnya Kurikulum Merdeka. Sepanjang perjalannya –masa uji coba- sekitar 3 tahun, Kurikulum Merdeka memang penuh dinamika. Pro dan kontra pun bermunculan menghiasi ruang publik dan menjadi bahan diskursus para pemerhati maupun praktisi pendidikan. Dalam perspektif kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat, maka hal tersebut jamak dan lazim terjadi di sebuah negara demokratis. Mereka yang pro menilai bahwa pemberlakukan Kurikulum Merdeka secara nasional merupakan langkah tepat yang diambil pemerintah dalam rangka peningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan kemampuan literasi, numerasi, dan pengembangan karakter anak-anak Indonesia.
Sedangkan kelompok kontra tentunya memiliki argumentasi sebaliknya atau berbeda. Mereka menilai bahwa Kurikulum Merdeka belum layak untuk dijadikan kurikulum nasional. Indra Charismiadji, seorang pengamat dan sekaligus praktisi pendidikan misalnya, menilai Kurikulum Merdeka yang digagas Kemendikbudristek bukanlah “obat” mujarab yang akan mampu “mengobati “permasalahan pendidikan di Indonesia. Dalam pandangannya, Indra Charismiadji menilai bahwa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah kompetensi guru yang masih sangat lemah.
Bukti kelemahan tersebut tercermin dari rata-rata hasil uji kompetensi guru yang hanya mencapai nilai 50. Makanya, jika Kemendikbudristek memberikan “obat” dengan cara mengganti kurikulum, hal itu tidak tepat. Lebih lanjut Indra Charismiadji menganalogikan kurikulum sebagai sebuah partitur musik yang memandu pemain musik untuk memainkan jenis –jenis musik. Jika pemain musiknya kompeten atau terampil dia akan mampu memainkan partitur musik apapun. Namun jika tidak kompeten atau terampil maka tidak akan mampu bermain musik dengan baik. Dalam kontek ini, bukan partiturnya yang bermasalah, namun pemain musiknya yang harus dilatih bermain musik.
Kritik juga datang Sekjen Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Dudung A Qodir, M.Pd. Dalam sebuah Podcast melalui akun Suyatno.id, Dudung A Qodir menilai, sejak awal Kurikulum Merdeka masih bermasalah khususnya dilihat dari perspektif analisis kebijakan serta urgensi penggantian kurikulum di Indonesia. Menurutnya, dari segi teori analisis kebijakan Kurikulum Merdeka memang masih menyisakan berbagai permasalahan sehingga memunculkan polemik berkepanjangan di kalangan guru.
Kemendikbudristek tampaknya bergeming dengan kritik tersebut. Bahkan, yakin jika Kurikulum Merdeka menjadi “obat” mujarab untuk menyelesaikan berbagai permasalahan pendidikan di Indonesia. Jika biang kerok rendahnya hasil PISA (Programm for International Students Assessment) siswa Indonesia dipicu oleh kemampuan literasi dan numerasi yang rendah, maka pemerintah yakin Kurilulum Merdeka telah berhasil meningkatkan capaian PISA di tahun 2022. Terbitnya Permendikbudristek Nomor 12 tahun 2024 tentang Kurikulum Pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar dan Jenjang Pendidikan Menengah merupakan bukti keyakinan pemerintah akan urgensi penetapan pemberlakuan Kurikulum Merdeka secara Nasional.
Secara legal formal, kebijakan ini sah. Karena “ketok palu” penetapan Kurikulum Merdeka menjadi kurikulum yang berlaku secara nasional telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2021. Dalam pasal 37 ayat (1) disebutkan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan berwenang menetapkan kerangka dasar kurikulum, dan struktur kurikulum pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah.
Perubahan paradigmatis berdampak pada seluruh tatatan kehidupan manusia. Lanskap kehidupan manusia termasuk kehidupan sekolah mengalami perubahan. Hal-hal yang sebelumnya tidak lazim kini menjadi jamak.
Manusia tidak memiliki kuasa untuk menolak perubahan. Yang bisa dilakukan adalah menerima perubahan dan melakukan adaptasi agar tidak tergilas perubahan itu sendiri. Kurikulum Merdeka memang dirancang untuk menghadapi tantangan perubahan tersebut.
Dalam konteks ini maka penetapan Kurikulum Merdeka sebagai kerangka dasar dan struktur kurikulum di setiap sekolah hendaknya dipandang sebagai upaya untuk mewujudkan masa depan anak-anak Indonesia yang cerah dan prospektif sesuai dengan perkembangan jaman.
Selain diharapkan mampu memberdayakan peserta didik hingga menjadi sosok merdeka yang relegius, mandiri dan berkarakter Pancasila, Kurikulum Merdeka juga diharapkan akan mampu melahirkan generasi Indonesia yang adaptif dengan perkembangan sains dan tehnologi, siap ambil bagian dalam persaingan global yang kini berjalan dengan cepat dan sangat masiv, serta generasi yang memiliki etika dan moral yang kuat untuk mencintai adat dan budayanya.
Kurikulum pada hakekatnya adalah kebijakan publik. Implikasi dari kebijakan ini tentunya akan dirasakan oleh seluruh masyarakat, terutama masyarakat sekolah. Maka, tugas kita adalah memastikan Kurikulum Merdeka ini bisa diimplementasikan dengan baik sehingga tujuan untuk membentuk generasi yang adaptif dengan perkembangan sains dan tehnologi, memiliki daya saing global, serta berkarakter sesuai dengan nilai-nilai butir Pancasila bisa terwujud. Tentunya dalam perjalanan implementasi Kurikulum Merdeka nanti, kritik dan saran sangat dibutuhkan. Sepahit dan segetir apapun kritik adalah vitamin yang akan mampu menyehatkan kita.
Penulis, Pengawas Sekolah Dikpora Bangli, Fasilitator Sekolah Penggerak Kemendikbudristek A3