Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Kekuatan demokrasi konon katanya dibuat oleh adanya partisipasi masyarakat ataupun rakyat. Akan tetapi, faktanya adalah kekuatan demokrasi telah diselubungi oleh tangan-tangan tak tersentuh bahkan mungkin pula oleh hukum.

Oleh karena itu, maka sudah selayaknya kekuatan demokrasi dipertanyakan kembali bahkan dieliminasi untukdl dievaluasi. Amerika katanya juga disebut sebagai salah satu negara demokrasi terbesar dunia demikian juga dengan Indonesia. Namun, ada perbedaan mendasar dalam demokrasi Amerika dan Indonesia sekalipun tidak bermaksud untuk membanding-bandingkan.

Pertama, Amerika telah tumbuh dengan kesadaran demokrasi sebagai pilar utama bahkan penting bagi kemajuan sedangkan Indonesia tumbuh dengan tanpa kesadaran. Kesadaran yang ada sebatas pencoblosan. Namun, pencoblosan pun sudah terbatas pada penggiringan opini oleh kepentingan kekuasaan.

Inilah yang tidak hanya sekedar menciderai demokrasi melainkan sudah mengarah kepada pengebirian.

Kedua, Amerika tidaklah sempurna dalam berdemokrasi namun Indonesia tidak saja tidak sempurna melainkan sudah mengakali demokrasi.

Untuk itu tulisan ini dibuat terutama dalam rangka mengevaluasi kembali tatanan demokrasi secara substansial. Secara substansial dapat disebut bahwa pertama, demokrasi bukan sebatas pencoblosan ataupun penghitungan suara sekalipun faktanya demikian.

Baca juga:  Logika Pemilih dalam Kompleksitas Pemilu Serentak

Kedua, kemampuan berdemokrasi dimiliki oleh kepentingan elite kekuasaan bukan pada akar rumput. Oleh karena itu, patut diduga bahwa kekuatan demokrasi sebenarnya bukanlah kekuatan demokrasi lagi adanya itu melainkan kekuatan yang mengatasnamakan sebuah kekuatan sistem demokrasi yang kebetulan dianut ataupun diyakini di tanah air tercinta ini.

Oleh karena itu patut dikemukakan dalam kesempatan ini yaitu pertama, tidak mengelabui keadaan politik yang belum mapan dan kedua, tidak menjadikan keadaan politik itu sebagai kesempatan aji mumpung.

Untuk itulah diperlukan perangkat demokrasi yang mumpuni untuk menegakkan kebenaran dalam berdemokrasi secara substansial dan tentu keadaan seperti itu dapat didukung sepenuhnya untuk saat ini misalnya oleh lembaga seperti contohnya Mahkamah Konstitusi (MK).

Pada kesempatan ini pula dapat ditunjukkan adanya kebenaran berdemokrasi melalui evaluasi yang dilakukan oleh para yang terhormat Hakim MK yang dengan semangat objektivitas yang berkualitas tentu akan dinantikan suatu putusan yang menentukan ke
arah mana sebenarnya dari masa depan bangsa kita ini.

Untuk itu diperlukan keberanian yang berkualitas pula sehingga betul-betul kekuatan demokrasi diuji kelayakannya secara hukum. Kesempatan yang baik ini sudah pasti akan melanjutkan tren demokrasi yang substantif mampu untuk diberlanjutkan ataukah tidak demokrasi itu sebenarnya?

Baca juga:  Indeks Demokrasi Bali Capai 82,37, Kedua Setelah Jakarta

Sebenarnya pula jika Hakim MK sudah diberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam menegakkan demokrasi yang substantif, tidak hanya substansial maka yang terjadi adalah pertama, hakim MK turut aktif untuk menjaga marwah kebenaran dalam berdemokrasi dan kedua, para Hakim MK akan tercatat tidak hanya sejarah melainkan justru dalam politik yang beretika tingkat tinggi.

Ketika kehidupan berpolitik telah disirnakan oleh kelicikan berdemokrasi, maka yang terjadi adalah hukum menjadi kerja berat. Kerja beratnya adalah bagaimana hukum dapat berperan serta lebih aktif lagi. Yaitu pertama tidak terkontaminasi oleh keadaan demikian itu dan kedua mampu menjernihkan kontaminasi. Oleh karena itu setiap Hakim MK mesti memiliki tanggung jawab besar atas turut bangkit ataupun matinya demokrasi di Indonesia saat ini juga.

Ke mana sebenarnya Demokrasi kita berjalan sekarang salah satunya ditentukan oleh putusan MK. Semoga saja membawa suatu bentuk kedewasaan baru yang konstruktif bagi pembangunan bangsa dan negara ke depan dalam arti yang substantif.

Baca juga:  Efektivitas Kepemimpinan Bali Pascapandemi dalam Ancaman?

Inilah sebagai cikal bakal baru akan lahirnya suatu wadah hukum yang menjadi salah satu soko guru penjamin dalam bentuk putusan yang menyejukkan
sekaligus membenarkan yang benar. Bila dirunut pelaksanaan Pemilu 2024 terutama pilpres dapat ditelurkan 2 keadaan demokrasi yang signifikan untuk dibahas sebagai bentuk kekuatan demokrasi yang tidak kuat antara lain pertama, kekuatan demokrasi yang
terselubung dalam dinding media sosial dan kedua, kekuatan demokrasi yang terselubung dan tergencet dalam politik dan hukum yang mudah termanipulasi.

Oleh karena itu dalam tulisan ini dapat disimpulkan sementara bahwa tidak ada kekuatan demokrasi yang murni. Kekuatan demokrasi yang murni hanya mungkin jika politik dan hukum yang tidak termanipulasi oleh, salah satunya ekonomi termasuk agama sekalipun sehingga kekuatan yang tidak kuat kelak dapat menjadi bentuk evaluasi murni dalam rangka membentuk negara yang memberikan suatu jaminan masa depan, yang
memimpin kenegaraan tidak saja berkeadilan melainkan keadilan yang terdukung secara otomatis oleh ditemukannya kebenaran.

Penulis; Dosen Filasafat UGM

BAGIKAN