DENPASAR, BALIPOST.com – Fenomena menarik terjadi pada sistem ketenagakerjaan di Bali khususnya. Penduduk pendatang dari luar Bali berdatangan ke Bali untuk bekerja dan mengambil peluang di sektor-sektor informal di Bali, sementara tenaga kerja (naker) lokal lebih tertarik bekerja di luar negeri.
Guru Besar Undiknas Prof. Sri Subawa, Senin (6/5) mengamati sebagian besar duktang yang datang ke Bali bekerja sebagai naker yang yang bekerja di sektor informal seperti tenaga serabutan, kuli, dll. Bali yang bergerak di bidang pariwisata, dianggap masih memberi peluang untuk mencari penghidupan. “Ibarat gula, banyak semut datang ingin ikut menikmati kue pariwisata. Ini menjadi kesempatan bagi mereka khususnya dari duktang,” ujarnya.
Kondisi ini penting menjadi bahan evalusi. Apakah naker lokal mau melakukan pekerjaan nonformal. Nyatanya, naker lokal lebih senang bekerja di luar negeri seperti di kapal pesiar dan di beberapa negara. Dengan bekerjanya mereka di luar negeri, membuktikan naker lokal mempunyai skill dan kompetensi namun enggan bekerja di dalam negeri.
“Hal ini tentu harus menjadi bahan evaluasi apakah dari sisi penghasilan, apakah sektor informal di Bali menjanjikan penghasilan yang layak, mungkin saja di luar negeri penghasilan mereka lebih menjanjikan daripada bekerja di Bali di sektor informal sehingga itu wajar terjadi,” tandasnya.
Sementara usaha-usaha nonformal di Bali membutuhkan naker, yang bisa mereka penuhi dari pendatang. “Apalah mereka datang lalu menguasai Bali? Ini adalah bagian yang harus diwaspadai. Duktang yang datang harus seleksi kedatangannya agar memiliki skill baik pendidikan formal maupun informal, termasuk tempat tinggalnya dimana dan pergaulannya agar tak menimbulkan masalah sosial,” ujarnya.
Namun, dominansi naker pendatang di Bali tampak nyata ketika Idul Fitri yang mana pasar sepi. Hal itu berarti duktang berpengaruh besar terhadap ekonomi Bali. Sementara kriminalisasi yang timbul tak bisa dihindari namun jika dibiarkan akan mempengaruhi citra pariwisata Bali. Duktang yang datang ke Bali harus diedukasi dan diseleksi agar turut menjaga ketertiban di Bali.
Koordinator Program Studi Ekonomi Pembangunan FEB Universitas Udayana, Dr. Made Dwi Setyadhi Mustika, S.E., M.Si., Senin (6/5) mengatakan, ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi persaingan ketenagakerjaan di Bali. Faktor internal yang mempengaruhi adalah keterampilan atau kompetensi yang dimiliki oleh naker lokal.
Jika naker lokal tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan oleh pasar kerja otomatis motivasinya akan turun, tidak ada rasa jengah untuk bisa bersaing karena merasa tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan oleh pasar kerja. Faktor eksternal datang dari persaingan. Persaingan dari naker lain yang memiliki kompetensi yang lebih dari naker lokal.
“Itu yang sebenarnya masih menjadi PR bagi naker lokal yaitu bagaimana menumbuhkan motivasi untuk bisa bersaing dengan duktang, tidak hanya menerima kondisi yang dimiliki sekarang tapi motivasi itu harus dibangkitkan salah satunya dengan meningkatkan kompetensi atau keterampilan agar bisa bersaing atau diterima di pasar kerja,” jelasnya.
Kehadiran duktang atau migrasi yang terjadi tak bis dihindari dan juga dilarang. Namun melihat data BPS, migrasi yang masuk dan keluar dari dan ke Bali, angkanya seimbang. Duktang masuk ke Bali dan mereka yang keluar meninggalkan Bali, itu memiliki angka atau persentase yang sama. Migrasi yang masuk ke Bali 68,12 persen sedangkan yang keluar Bali 68,77 persen. “Jadi secara umum di Bali, tidak ada masalah terkait kelebihan jumlah penduduk atau kekurangan jumlah penduduk,” tandasnya.
Namun, yang harus menjadi perhatian adalah Denpasar, Badung dan Gianyar. Denpasar mencatatkan migrasi masuk lebih dari 2 kali lipat penduduk migrasi keluar. Demikian juga dengan Badung, lebih dari dua kali lipat.
Begitu juga dengan migrasi risen juga menunjukkan angka seimbang bahkan yang keluar lebih banyak dari yang masuk. Migrasi masuk di angka 14,63 persen sedangkan migrasi keluar 17,14 persen. Artinya mereka yang migrasi keluar lebih banyak daripada migrasi masuk. Sehingga sebenarnya tidak ada masalah terhadap ketersediaan pangan di Provinsi Bali.
Maka ia menyimpulkan kelangkaan bahan di Bali bukan disebabkan karena adanya migrasi penduduk tapi disebabkan faktor lain misalnya ketersediaan bahan pangan yang dipasok dari petani atau adanya pengaruh cuaca ekstrem yang menyebabkan gagal panen sehingga stok bahan pangan di Bali menjadi tidak mencukupi.
Namun yang perlu menjadi catatan adalah masalah sosial yang ditimbulkan dari migrasi penduduk. Duktang harus memiliki pemahaman yang sama untuk menjaga ketertiban di Bali demi kenyamanan bersama. (Citta Maya/balipost)