ODGJ yang telah pulih menampilkan tarian dalam kegiatan simposium, Jumat (10/5). (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Angka orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) meningkat di Denpasar dengan angkanya mencapai 1.160-an. Untuk penanganan dan pencegahan perlu kolaborasi semua pihak.

Ketua Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Cabang Denpasar dr. I Gusti Rai Putra Wiguna, Sp.KJ., Jumat (10/5) mengatakan, semakin banyaknya angka kasus ODGJ bisa dikarenakana bertambah banyak jumlah penderita atau karena semakin banyak yang mau terbuka dan mulai tertangani dengan baik.

Sebelumnya, 10 tahun lalu angka ODGJ hanya 60 orang dan saat ini mencapai 1.160-an. “Mungkin saja dulu angkanya sudah seribu cuma sedikit tyang mendapatkan pengobatan medis,” sebutnya usai pembukaan Simposium Pertama Psychiatri Denpasar dengan tema Participating in Learning Tourism, Suicide and Addiction di Bali Convention Center.

Dengan angka kasua yang meningkat, perlu pencegahan dengan skrining lebih awal agar tidak sampai parah. “Kalau orang sudah mengalami mendengar suara- suara, waham, sudah curiga berlebihn, tapi 6 bulan kemudian baru berobat itu bisa parah. Tapi kalau dalam waktu 7 hari sudah mendapatkan pengobatan, maka bisa dicegah ke arah yang lebih parah,” jelasnya.

Baca juga:  Erupsi Gunung Agung, Konsumsi BBM Turun 20 Persen

Selain angka ODGJ, yang mengkhawatirkan juga angka bunuh diri. Sepanjang catatan kasus bunih diri, tahun 2023, merupakan angka kasus bunuh diri tertinggi sebanyak 48 kasus bunuh diri.

Hal itu berarti setiap 67 jam sekali, ada yang bunuh diri. Jumlah penduduk Bali sedikit, tapi angka bunuh diri di Bali masuk 3 besar di Indonesia setelah Jateng dan Jatim.

“Jangan-jangan risiko bunuh diri di Bali tinggi. Ini tantangan Kota Denpasar. Bukan hanya tugas psikiater tapi banyak orang dan kondisi ini akan mempengaruhi citra pariwisata sebagai yang notabene sebagai tempat healing,” ungkapnya.

Baca juga:  Jelang MotoGP, Penumpang di Padangbai Mulai Meningkat

Fasilitas pencegahan angka bunuh diri diharapkan dapat lebih baik, termasuk RS meningkatkan sumber daya yang baik untuk menangani bunuh diri. “Jadi itu perlu didorong untuk lebih baik dan bahkan tourism mental health bisa menjadi peluang bagi Bali, jadi Bali sebagai tempat healing jangan hanya gimmick tapi juga perlu fasilitas dan sarana menyehatkan mental,” ujarnya.

Sementara dari sisi jumlah dokter psikiater di Bali sebanyak 76 dokter menurut Rai masih kurang dengan rasio jumlah penduduknya. “Tapi pencegahan orang bunuh diri dan penanganan bukan hanya tugas psikiater saja tapi juga ada psikolog, konselor, konselor sebaya dari tingkat SMP, SMA sedangkan di masyarakat tokoh agama djharapkan mengambil peran,” ujarnya.

Ketua Panitia Dr.dr. Luh Nyoman Alit Aryani, Sp.KJ.,Subsp.,Ad. (K) mengatakan, kasus kejadian bunuh diri atau suicide dalam 10 tahun terakhir makin meningkat. Tidak jarang kasus suicide ini berkorelasi dengan adiksi atau penyalahgunaan zat narkotika, psikotropika dan adiktif lainnya.

Baca juga:  Trend Kesembuhan Pasien COVID-19 di Buleleng Meningkat

Dalam era ini, tingginya tingkat stres, tekanan sosial, dan tantangan hidup dapat menjadi pemicu serius terhadap perilaku bunuh diri atau suicide dan juga perilaku adiksi. Seminar ini diinisiasi untuk memberikan pemahaman yang lebih, terutama para praktisi kesehatan mental, tentang dampak psikologis dan perawatan yang diperlukan bagi individu yang menghadapi risiko bunuh diri dan masalah adiksi.

Melibatkan para ahli di bidang psikiatri, psikologi, dan rehabilitasi, seminar ini bertujuan untuk menyediakan wawasan mendalam, strategi pencegahan dan intervensi terkini dalam penanganan kasus suicide dan adiksi. Dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman praktis, diharapkan peserta seminar dapat meningkatkan keterampilan mereka dalam menangani kasus suicide dan adiksi. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN