Oleh Prof. Dr. Made Agus Dharmadi, M.Pd.
Bapak Bangsa kita, Soekarno, menyampaikan “Marilah kita kembali kepada jiwa kita sendiri, janganlah kita
menjadi bangsa tiruan,” selanjutnya, Mohammad Hatta menyampaikan ‘kita masih terus berjuang untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tanyakan pada diri, apa yang sudah kita berikan’, dan Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara menyampaikan ‘agar tidak hidup terperintah’, dan kita harus berdiri tegak
dengan kekuatan sendiri’.
Semua quote tersebut, tidak lain dan tidak bukan bermaksud untuk menguatkan jati diri bangsa, menuju bangsa yangbmandiri dan sejahtera. Dalam tiga tahun terakhir ini, strategi dekolonisasi telah menjadi trending topik di berbagai belahan dunia, baik di jurnal-jurnal bereputasi, maupun kegiatan-kegiatan ilmiah.
Yang terdekat, Komite Khusus PBB menggelar seminar dengan topik ‘Decolonization’ di Bali pada tanggal 24-26
Mei 2023, sebagai langkah inovatif dalam rangka pencapaian pembangunan berkelanjutan atau sering disebut Sustainable Development Goals (SDGs). Dekolonisasi bukanlah gerakan baru, namun jika ditelusuri, khususnya di pendidikan tinggi, munculnya gerakan dekolonisasi telah ada sejak tahun 1960 di Afrika Timur.
Bahkan di Indonesia sendiri telah digerakan sejak diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, saat itu semangat memerdekakan dan pembebasan terhadap kolonial telah menjadi kes-
epakatan dan komitmen bersama di Asia sehingga
tercipta negara yang merdeka dan mandiri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dekolonisasi bermakna penghapusan daerah jajahan, yang berasal dari kata kolonial yang merujuk pada masa ketika suatu negara menjajah negara lain. Dekolonisasi merupakan proses mengakhiri penjajahan dan mengembalikan kemerdekaan kepada negara yang sebelumnya dijajah.
Namun, secara lebih luas dekolonisasi di era saat ini diarahkan kepada suatu proses kebebasan atau memerdekakan, kesetaraan dan keadilan terhadap suatu proses keberlangsungan kehidupan, dekontruksi praktik yang bersifat kebarat-baratan (Mahabeer, 2018).
Di lain pihak, dekolonisasi merupakan usaha penemuan kembali budaya asli atau tradisi yang ada pada daerah tersebut.
Budaya asli yang dimaksud adalah aktifitas lokal yang ada dan berkembang secara turun-temurun. Usaha ini
bertujuan agar budaya dan tradisi lokal dapat digunakan sebagai pondasi dalam pembangunan daerah atau negara (MacGill, 2023).
Bertalian dengan hal tersebut, dekolonisasi merupakan usaha mendesentralisasi kekuasan sehingga daerah/negara memiliki kebebasan yang luas dalam
melaksanakan program pembangunan sehingga tercapai tujuan yang dicita-citakan (Mignolo & Walsh, 2018). Kebebasan dan keleluasaan dalam pengelolaan daerah/negara akan dapat mengorkestrasi kebutuhan
sesuai dengan harapan masyarakat setempat.
Dekolonisasi pendidikan merupakan upaya/usaha tanggungjawab etika terhadap pengembangan metodologi intelektual masyarakat pribumi yang sangat terkait dengan tempat, sejarah dan konteks yang bertujuan untuk upaya pembebasan dari struktur (kolonial) yang mendominasi (Smith, 2008).
Dekolonisasi pendidikan bukan berarti menolak teori Barat, namun lebih tepatnya adalah menempatkan teori atau wawasan ilmiah lokal sederajat atau setara dalam produksi pendidikan global. Hal ini sepatutnya harus sudah dimulai dari sekarang, bahwa teori dan gagasan pengetahuan kita tidak kalah baik dengan teori Barat.
Ironisnya, para akademisi lebih fasih membahas gagasan Anthony Giddens daripada Arif Budiman, atau psikolog Indoneisa lebih akrab dengan gagasan Sigmund Freud daripada Sutrisno Hadi, hal ini mestinya bisa dihindari, karena diskursus keilmuan keindonesiaan tidak sepenuhnya kalah dari ilmuan Barat (Agustinova, 2017).
Di sisi lain, dekolonisasi pendidikan merupakan proses yang sangat kompleks yang membutuhkan komitmen dari semua pihak baik ditingkat organisasi maupun operasional, sehingga tercipta sistem pendidikan yang mandiri dan berdikari ‘berdiri di kaki sendiri’.
Dekolonisasi pendidikan merupakan langkah penting dalam memastikan pendidikan bersifat inklusif, beragam, dan responsif terhadap budaya dan tradisi, sehingga menjadikan lingkungan pendidikan yang setara dan adil dalam mengembangkan pengetahuan, ide dan keterampilan (Lister, 2023).
Lebih jauh, prinsip kemerdekaan dalam strategi dekolonisasi sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara (2009), bahwa tanpa kemerdekaan tidak akan mungkin ada kemajuan, karena dalam kemerdekaan terdapat tiga unsur yakni 1) berdiri sendiri, 2) tidak tergantung orang lain, dan 3) dapat mengatur dirinya sendiri. Ketiga unsur di atas merupakan ciri negara yang mandiri, kreatif dan produktif.
Penulis, Dosen FOK Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja