Oleh I Nyoman Sucipta
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ada 3.528 unit usaha akomodasi di Bali pada 2022. Dari jumlah tersebut, sebanyak 434 unit usaha atau 12,3% merupakan hotel bintang dengan total jumlah kamar 47.751 unit. Berdasarkan data BPS tersebut, hotel bintang di Pulau Dewata didominasi oleh bintang tiga ke atas.
Rinciannya 153 hotel bintang tiga yakni dengan persentase 3,25 persen dari total hotel bintang di Bali dengan 10.242 kamar,139 hotel bintang empat dengan persentase mencapai 32% dengan 17.547 kamar, dan 83 hotel bintang lima dengan persentase 19,12% dengan 16.164 kamar.
Hanya ada 42 hotel bintang dua di Bali dengan persentase 9,68% dengan 2.883 kamar, dan 17 hotel bintang satu dengan persentase paling kecil yakni 3,92% yang hanya 915 kamar.
Sebagai Informasi, Bali merupakan provinsi dengan jumlah hotel bintang terbanyak kedua di Indonesia pada 2022. Peringkat satunya diduduki oleh Jawa Barat yang memiliki 552 hotel bintang. Jumlah kamar hotel hingga pertengahan tahun 2024 diprediksikan akan terus bertambah, seiring dengan penyelesaian pembangunan hotel yang kini masih dalam tahap pengerjaan.
Belum lagi dengan semakin menjamurnya vila hingga ke pelosok pedesaan. Sebenarnya berapa banyak kamar yang dibutuhkan untuk mendukung pariwisata Bali? Alih fungsi lahan merupakan kegiatan perubahan penggunaan lahan dari suatu kegiatan yang menjadi kegiatan lainnya.
Alih fungsi lahan muncul sebagai akibat pembangunan dan peningkatan jumlah penduduk. Alih fungsi lahan yang terjadi di Pulau Dewata belakangan ini semakin menghawatirkan. Hamparan lahan-lahan sawah hijau seketika berubah fungsi menjadi penginapan atau hotel termasuk rumah tinggal.
Masalah alih fungsi lahan di Bali semakin masif. Hal tersebut beriringan dengan maraknya pembangunan fasilitas pendukung pariwisata seperti hotel, vila, restoran dan fasilitas lainnya.
Perubahan alih fungsi lahan dari persawahan ke lahan pariwisata sangat signifikan sekali, hal ini dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem lingkungan dan juga mempengaruhi pola kehidupan masyarakat
yang dahulunya petani menjadi pelaku pariwisata dan penonton perubahan pariwisata.
Perubahan pola kehidupan dan lingkungan masyarakat diakibatkan keterbatasan ekonomi sebagai petani yang miskin, kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap kesejahteraan para petani, dan meningkatnya harga tanah yang diakibatkan oleh para investor untuk membangun industri bisnis pariwisata, tidak jelasnya peraturan tentang penggunaan lahan pariwisata sebagai pariwisata yang berbasis lingkungan dan masyarakat (ecotourism & community based tourism).
Meminimize hal tersebut perlu kajian yang holistik terkait banyaknya akomodasi pariwisata di Bali. Bukan semata-mata dari segi jumlah wisatawan, tetapi juga dari segi ketersediaan air, konsumsi energy dan kemacetan yang ditimbulan. Sebagai contoh dengan
ketersediaan jumlah kamar yang banyak maka kebutuhan akan air bersih juga akan mengalami peningkatan.
Menurut laporan Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Pembangunan Bali (LP3B) menunjukkan kamar hotel memerlukan air mencapai 2.000 liter hingga 3.000 liter per kamar per hari (tergantung kelas hotel/resort) dan setiap lapangan golf 18 hole membutuhkan 3.000.000 liter air per hari.
Sedangkan jika merujuk penelitian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup pada 1997 silam menyebutkan jika Bali akan mengalami krisis air pada 2013 sebanyak 27 miliar liter. Membandingkan kedua data tersebut memperlihatkan bahwa saat ini saja Bali telah mengalami krisis air.
Moratorium pembangunan hotel di Bali saat ini keniscayaan diberlakukan dengan jumlah kamar yang ada saat ini Bali mungkin sudah kelebihan jumlah kamar, belum lagi bakal ada tambahan kamar dari hotel-hotel yang sedang dalam tahap penyelesaian pembangunan.
Tinggal komitmen para pemegang kebijakan saja yang diperlukaan saat ini, apakah komit pada pembangunan Bali yang berkelanjutan atau hanya akan mengejar target investasi semata? Jika tetap target investasi menjadi acuan maka moratorium pembangunan hotel tetap sekedar wacana saja.
Kebijakan moratorium pembangunan hotel di Bali yang pernah disampaikan oleh Gubernur Bali sebelumnnya. Nampaknya pemerintah provinsi dan kabupaten-kota di
Bali perlu membuat kesepakatan ulang. Harus dipikirkan kembali untuk menentukan apakah peningkatan PAD yang lebih penting ataukah mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Jangan sampai teori daya dukung dan daya tampung lingkungan hanya menjadi wacana semata. Salah satu hal yang mengkhawatirkan dari dampak alih fungsi lahan akan hilang dari Bali adalah masalah pangan. Beberapa tempat di Bali dikenal sebagai lumbung padi, namun kini terkikis habis karena pengembangan fasilitas kepariwisataan.
Penulis, guru besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana