DENPASAR, BALIPOST.com – Pengamat ekonomi, Viraguna Bagoes Oka, Selasa (14/5) mengatakan Bali saat ini sedang menghadapi berbagai permasalahan multidimensi tanpa ada solusi yang kongkret. Tata ruang Bali sarat dengan eksploitasi yang kebablasan atau berlebihan yang akan merusak tata ruang dan ekosistem dan nilai-nilai holistik alam Bali.
Salah satu dampak pembangunan kebablasan di Bali
yakni terjadinya kelebihan fasilitas pariwisata. Para
pengamat menilai saatnya di Bali dilakukan moratorium
fasilitas pariwisata.
Viraguna mengungkapkan permasalahan Bali di antaranya, persoalan struktural infrastruktur, kemacetan, persoalan sampah, tata ruang pembangunan hotel
dan vila yang overbuild, kepadatan penduduk, masalah
sosial, keamanan hingga ekonomi. Seperti, masalah
dunia usaha, keuangan, perbankan yang terus merosot.
Sementara Bali dikatakan memiliki peluang besar
menangani pariwisatanya secara terpadu dengan model “otoritas khusus pariwisata Bali”. Otoritas khusus itu meliputi 3 pilar utama berbasis otoritas keimigrasian, otoritas pintu masuk udara atau laut dan otoritas penanaman modal (planning, organizing, executing dan controlling) yang seharusnya berada satu komando
di tangan Provinsi Bali.
Jika otoritas khusus pariwisata dengan 3 pilar tersebut dapat dilaksanakan dengan aturan yang kredibel dan penegakan hukum yang tegas, maka dapat dipastikan Bali akan memiliki sumber dana mandiri minimal Rp10 – Rp12 triliun per tahun atau dua kali APBD Bali saat ini.
Dana mandiri tersebut antara lain bersumber dari VOA (Visa on Arrival) dan investasi atau penanaman modal yang masuk Bali. “Dengan bisa terwujudnya Otoritas Khusus Pariwisata Bali di bawah kendali langsung Pemprov Bali maka pengembangan Bali Maritim Tourism Hub (BMTH) yang dicanangkan oleh inisiatif Menteri BUMN dan mengklaim pendapatan daerah akan bisa naik 2,7 kali lipat sudah tidak relevan lagi karena dengan pengembangan BMTH lagi-lagi tata ruang Bali akan makin rusak,” ungkapnya.
Sejatinya Bali berkali-kali menyerukan agar dilakukan moratoriun pembangunan fasilitas pariwisata khususnya akomodasi. Namun, wacana tersebut tarik ulur hingga pembangunan yang terjadi saat ini terkesan kebablasan.
Menurut Pengamat Pariwisata Bali, I Made Sulasa Jaya, memang perlu dilakukan moratorium dan regenerasi
pemikiran tentang konsep pariwisata Bali. Fasilitas pariwisata memang harus diremajakan karena memang pariwisata Bali sudah tua. “Namun jangan ada bangunan yang baru lagi. Yang nyatakan pembangunan hotel, kamar hotel nambah walaupun kita belum pernah menghitung berapa kamar hotel yang enggak bisa dipakai lagi,” pungkasnya.
Perlunya moratorium karena menurutnya pariwisata Bali sudah over tourism facilities. Indikatornya dapat dilihat
dari kuantitas isian hotel belum maksimal dan merata, secara kualitas belum terkendali dengan baik dan belum bercirikan budaya Bali. Dampaknya sudah nyata terlihat dari penjualan online lewat OTA atau yang lain dengan diskon tinggi terkesan fasilitas pariwisata Bali dijual murah sedangkan kualitas produk dan pelayanan pasti berkurang.
“Pemerintah harus berani mengambil tindakan sekecil apapun, kita stop, benahi dulu aturannya. Harus ada keberanian bersikap tegas. Seperti masalah sampah, dari dulu bicara soal sampah, tapi tidak ada mesin penghancur sampah, ya.. masih jadi soal. Ini masalah sudah di depan mata. Tidak perlu dianalisis lagi,” tegasnya.
Selain moratorium pariwisata Bali, perlu juga mengubah mindset menjadi regenerasi pariwisata. Menurutnya,
Bali saat ini mulai terpengaruh zamanbartificial inteligent, kecerdasan yang direkayasa mengikuti budaya lain seperti keramahtamahan yang direkayasa.
“Yang seharusnya pariwisata Balibdikembangkan dengan kecerdasan alami seperti peningkatan budi pekerti yang cinta Bali,” ujarnya.
Oleh sebab itu memerlukan pemikiran dan konsep baru dalam pola tata kelola secara berkelanjutan dalam banyak hal. Seperti moratorium fasilitas untuk mengkonsep pola tata kelola fasilitas.
Selama ini tujuan dari pariwisata hanya berpatokan dari jumlah wisatawan dan uang yang dikeluarkan selama berwisata. “Pernah enggak berpikir goal kualitas pariwisata seharusnya? Kan engga pernah. Begitu juga dengan GIPI, kan pengusaha-pengusaha di dalamnya,
pengusaha di dalam GIPI sudah mau engga memikirkan tentang kualitas nilai budaya. Seorang pengusaha tentu tidak memikirkan demikian,” bebernya.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpdu Satu Pintu (DPMPT-SP) Denpasar, Ida Bagus Benny Pidada Rurus mengatakan, belum bisa melihat terkait data perizinan pembangunan fasilitas pariwisata karena adanya sistem OSS. Selain itu ijin pembangunan (PBG) dikeluarkan pemerintah daerah masing-masing tingkatan berdasarkan skala-skala usahanya.
Seperti pembangunan hotel dengan jumlah kamar 200
keatas dikeluarkan pemerintah pusat, di bawah 200 sampai 101 dikeluarkan pemerintah provinsi dan 100 ke bawahbdikeluarkan pemkab/pemkot. Sementara rencana pengembangan kawasan di area Pelabuhan Benoa untuk beberapa fasilitas pariwisata dikatakan
Pemkot mendukung sesuai kewenangan.
“Karena kita diberi kewenangan oleh pusat sesuai OSS ini. Sementara untuk izin mendirikan bangunan (PBG) memang di kabupaten/kota, tapi masalah sudah diajukan atau belum, itu yang di PTSP tidak bisa melihat karena memakai aplikasi SIMBG,” tandasnya. (Citta Maya/balipost)