DENPASAR, BALIPOST.com – Setiap Saniscara Kliwon Wuku Uye, umat Hindu merayakan Rahina Tumpek Uye atau Tumpek Kandang. Saat Tumpek Kandang, umat Hindu biasanya mengupacarai binatang peliharaan mereka. Ini sebagai wujud sradha dan bhakti umat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Lalu, bagaimana pemaknaan dan implementasi Tumpek Uye di era kekinian saat ini?
Paruman Walaka PHDI Provinsi Bali, I Ketut Wartayasa, S.Ag., M.Ag., dalam Dialog Merah Putih Bale Era Baru di Warung Bali Coffee 63 A Denpasar, Rabu (15/5), mengatakan Rahina Tumpek Uye atau yang sering disebut Tumpek Kandang sejatinya adalah hari kasih sayang terhadap hewan. Maka sering disebut otonan terhadap hewan/binatang peliharaan ataupun binatang liar. Sehingga, rahina ini menjadi momentum bagi umat Hindu untuk memuliakan hewan dengan cara memohon kepada Ida Sang Hyang Siwa Pasupati atau Sang Hyang Rare Angon untuk keselamatan dan kerahayuan hewan. Apalagi, hewan peliharaan berjasa kepada umat manusia. Seperti, untuk pertanian, sebagai sarana upacara yadnya, maupun untuk dikonsumsi, serta memberi manfaat ekonomi bagi umat.
Meskipun Tumpek Uye merupakan otonan sarwa wewalungan, dikatakan bukan berarti umat Hindu di Bali menyembah hewan. Namun, yang disembah adalah prabawa Ida Sang Widhi yakni Sang Hyang Siwa Pasupati dalam wujud Sang Hyang Rare Angon untuk memohon keselamatan dan kerahayuan jagat.
Dosen Prodi Hukum Adat STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja ini pun sangat bergembira karena perayaan Rahina Tumpek Uye ini dirayakan secara masif. Ini berkat kebijakan yang dikeluarkan oleh Wayan Koster pada saat menjabat sebagai Gubernur Bali periode 2018-2023. Dimana, pada tahun 1022 lalu, dikeluarkan Instruksi Gubernur Bali Nomor 01 Tahun 2022 tentang Perayaan Rahina Tumpek Uye Dengan Upacara Danu Kerthi Sebagai Pelaksanaan Tata-Titi Kehidupan Masyarakat Bali Berdasarkan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sad Kerthi Dalam Bali Era Baru. Dengan demikian, pemaknaan dan implementasi Rahina Tumpek Uye semakin masif di era kekinian saat ini.
Perayaannya tidak saja dilakukan oleh umat yang memiliki hewan peliharaan, tetapi juga dirayakan oleh umat yang tidak memiliki hewan peliharaan.
Momen ini pas juga Sad Kerthi dengan konsep pemuliaan pada air dan jagat atau Danu Kerthi dan Jagat Kerthi. Sebab, kita tak bisa lepas dari jagat kerthi. Dari air akan mulai kehidupan. Ini juga tepat pelaksanaan KTT World Water Forum (WWF) digelar di Bali yang sarat dengan kearifan lokal dalam pemuliaan air dan alam bhuwana agung dan bhuwana alit.
Pengamat budaya, Dr. Ida Bagus Anom, M.Pd., mengatakan bahwa Rahina Tumpek Uye merupakan momentum bagi kita semua untuk mengajak generasi muda Bali mencintai hewan. Karakter generasi muda cinta akan hewan mesti ditanamkan sejak dini. Kemudian mengajak mereka untuk bersyukur dan berdoa kepada Sang Hyang Rare Angon agar hewan yang ada di alam ini bisa hidup dan memberikan manfaat bagi makhluk lainnya.
Tumpek Uye ini, kata dia, intinya kita bisa mengandangkan (menekan, red) sifat-sifat kebinatangan dalam diri. Di antaranya sifat serakah, suka bertengkar, tak tahu etika, dan lainnya.
Dia menyarankan upacara Tumpek Kandang diawali upacara di merajan, baru tirtha dipercikan kepada hewan peliharaan di kandangnya Bukan sebaliknya pusat upacara dilakukan di kandang hewan kesayangan.
Menjaga kesehatan hewan juga sangat penting dilakukan oleh semua pihak, terutama genarasi muda. Sehingga, hewan peliharaan tidak menyebabkan penyakit pada manusia.
Cinta terhadap hewan tidak harus menunggu Tumpek Uye, tetapi bisa dilakukan setiap saat. Apalagi, Pemerintah Provinsi Bali sangat konsen terhadap pelestarian hewan dan tumbuh-tumbuhan yang langka di Bali,” ujarnya. (Ketut Winata/balipost)