I K. Eriadi Ariana. (BP/kmb)

Oleh I K. Eriadi Ariana

World Water Forum (WWF) ke-10 akan berlangsung di Nusa Dua, Bali pada tanggal 18-25 Mei 2024. Forum
tersebut konon hadir sebagai ruang kolaborasi dan kemitraan global dalam mengatasi berbagai persoalan air yang tengah mengepung dunia. WWF ke-10 jadi harapan pengelolaan sumber daya air yang lebih baik di masa depan.

Penyelenggaraan WWF ke-10 di Bali menjadi penanda penting bagi Bali dan peradaban air yang diwarisinya. Forum ini dapat menjadi ruang “mengalirkan” kearifan peradaban air Bali dalam menghadapi krisis air global, sekaligus menjadi harapan dalam meretas berbagai persoalan air yang tengah mengintai Pulau Dewata.

Apabila membicarakan air di Bali, paradoks memang seolah tidak dapat dihindarkan. Narasi pemuliaan air yang berserakan diwariskan oleh leluhur Bali seolah tak mampu membendung masalah air di Bali. Meskipun budaya memuliakan air demikian semarak dipraktikkan tanpa putus dalam berbagai ritus, disimbolisasi dalam situs, atau diapresiasi dalam karya sastra, toh penggun-
dulan hutan, pencemaran air, penurunan muka air tanah, hingga intrusi air laut demikian masif terjadi.

Banyak di antara kita pun mulai pesimistis dengan laku sungsang manusia Bali. Sebagian di antaranya pun menyimpulkan bahwa manusia Bali telah berjarak dengan ajaran leluhur.

Baca juga:  Mencegah Karies Botol pada Anak

Peradaban Air Bali

Semesta pikir orang Bali tercermin melalui warisan keberaksaraannya. Pada banyak teks, manusia Bali memandang air sebagai sumber kehidupan mahapenting. Air atau apah diyakini sebagai satu dari panca mahabhuta ‘lima unsur asali semesta’—selain prětiwi ‘tanah’, bayu ‘udara’, teja ‘cahaya’, dan akasa ‘ruang’. Panca mahabhuta diyakini ada di dalam bhuwana alit ‘dunia kecil; tubuh manusia’ maupun bhuwana agung ‘alam semesta’.

Air bersama ide-ide pemuliaan terhadapnya telah membangun struktur peradaban Bali secara menyeluruh, lahir dan batin. Air dihargai bukan hanya dalam wujud jasmaniah, tetapi juga dalam wujud rohani
berupa tirta. Kesadaran atas kemuliaan air melahirkan konsep spiritualitas khas manusia Bali.

Belakangan, kalangan intelektual menyebut mazhab spiritual itu sebagai Agama Tirta ‘agama air’ . Air tercengkeram kuat dalam khazanah pernaskahan di Bali. Kakawin Ramayana—diduga ditulis pada abad ke-9 Masehi—telah membincangkan telaga, danau, dan sungai-sungai yang menjadi sumber kehidupan. Pada era akhir Majapahit, Kakawin Siwaratrikalpa secara tersirat mengingatkan kita untuk senantiasa menjaga kelestarian telaga, hutan, dan saluran irigasi.

Apabila simpul-simpul ekologis itu rusak, nasib manusia akan seperti Sang Lubdaka yang kehilangan sumber daya kehidupan. Teks-teks purana mewariskan kearifan air yang tidak sedikit. Usana Bali dan teks turunannya secara tegas menjelaskan kemelaratan Tanah Bali sebelum Gunung Batur dan Gunung Agung dibawa ke Bali melengkapi Gunung Marepat (Gunung Lempuyang,
Gunung Bratan, Gunung Mala, Gunung Andakasa) yang lebih dahulu ada.

Baca juga:  Fenomena "Ulah Pati"

Teks ini seolah mengingatkan gunung sebagai permata kehidupan. Kita tahu, gunung dengan ekosistem hutannya adalah penadah air hujan. Dari gununglah air hujan yang diserap turun ke danau, sungai, hingga ke laut.

Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul menyebut Catur Danu ‘empat danau’ (Danau Batur, Danau Bratan, Danau Buyan, dan Danau Buyan) sebagai catuning amreta ‘penakar kehidupan’. Pada empat danau inilah Pulau Bali menimba hidup sepanjang masa. Varian lain Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul mewacanakan konsep sad
kreti ‘enam pemuliaan’.

Sad kreti terdiri atas giri kreti ‘pemuliaan gunung’, ranu kreti ‘pemuliaan danau’, wana kreti ‘pemuliaan hutan’, swi kreti ‘pemuliaan sawah’, sagara kreti ‘pemuliaan laut’, dan jagat kreti ‘pemuliaan semesta’. Menurut
konsep ini, sad kreti adalah representasi dari simpul-simpul ekosistem di dalam siklus hidrologi.

Subak Solidaritas dan Kesejahteraan Bersama

Istilah kasuwakan—istilah yang erat hubungannya dengan kata subak—telah digunakan orang Bali setidaknya pada abad ke-11 Masehi melalui Prasasti Pandak Badung. Subak bukanlah pranata sederhana. Subak tidak hanya menyoal menanam padi di lahan berteras yang sedap dipandang mata. Pada setiap tetes air yang mengalir di subak terikat pranata sosial, ekonomi, ekologis, dan spiritual kompleks.

Baca juga:  Kenyataan 2024

Subak bukan semata sumber pangan, tetapi pada waktu yang sama juga pusar spiritualitas, seni, pengetahuan
dan teknologi, hingga sekolah etik ekologis manusia Bali. Megasistem subak menghubungkan Pulau Bali sebagai satu-kesatuan pulau yang utuh.

Subak menuntut relasi, sinergi, dan kolaborasi antara masyarakat di hulu dan hilir Pulau Bali. Sistem subak mengakui peran konservasi masyarakat yang tinggal di pegunungan, pun peran pengelolaan lahan oleh masyarakat di kawasan hilir. Mereka sama-sama sadar
saling berbagi peran untuk mencapai keseimbangan.

Nilai solidaritas subak salah satunya tampak dalam konsep Pasihan Bhatari Sakti Batur yang eksis di Pura Ulun Danu Batur. Pasihan ‘tempat berlimpah kasih’ adalah jejaring subak Pura Ulun Danu Batur, Desa Adat Batur, Bangli.

Subak yang menjadi anggota Pasihan Batur me-
miliki tanggung jawab untuk mempersembahkan
sawinih atau sarin tahun.

Penulis adalah Peneliti Lontar, Dosen di Prodi Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana, serta Jero Penyarikan Duuran di Pura Ulun Danu Batur

BAGIKAN