I Wayan Agus Eka. (BP/Istimewa)

Oleh I Wayan Agus Eka

Lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali diharapkan menjadi dasar hukum komprehensif dalam perlindungan nilai-nilai kearifan lokal Bali sekaligus kesejahteraan masyarakat Bali. Beleid yang diundangkan pada tanggal 4 Mei 2023 ini diharapkan menjawab tantangan kebudayaan yang dihadapi Provinsi Bali meliputi adat istiadat, tradisi, seni dan budaya serta kearifan lokal yang terus mengalami kemunduran.

Salah satu penyebab pembangunan Bali selama ini belum menjamin keajegan nilai budaya Bali adalah alokasi anggaran yang kurang berpihak pada kemajuan budaya Bali. Hal inilah yang kemudian menjadi landasan filosofis pemberlakuan pungutan bagiwisatawan asing.

Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 mengatur bahwa “selain sumber
pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam rangka pelindungan kebudayaan dan lingkungan alam Bali, Pemerintah Daerah Provinsi Bali dapat memperoleh sumber pendanaan yang bersumber dari: a. pungutan bagi wisatawan asing; dan b. Kontribusi dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat”. Norma mengenai pungutan bagi wisatawan asing ini hanya diatur di pasal 8 ayat (3) karena ketentuan lebih lanjut didelegasikan melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali.

Yurisprudensi Putusan MK

Baca juga:  Lagi, Pengojek Liar Ditembak

Berdasarkan hasil pencarian penulis pada database putusan MK, terdapat setidaknya 4 jenis pajak/pungutan dimana undang-undang yang menjadi dasar pungutannya pernah dilakukan
pengujian terhadap Pasal 23A UUD 1945 sebagai berikut: Pengenaan PPh Final serta ketentuan mengenai “jasa lain” yang diatur pada Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh). Jenis dan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana diatur pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 1997 (UU PNBP).

Sebagai contoh, dalam permohonan terkait Pasal 4 ayat (2) UU PPh, Pemohon berargumentasi bahwa pengaturan atas pemajakan penghasilan final dari penghasilan tertentu lainnya yang dapat diatur lebih lanjut dalam/atau dengan Peraturan Pemerintah telah membuka jalan untuk menetapkan pajak tanpa ada pembatasan. Hal ini berarti kekuasaan tanpa batas serta tidak ada kepastian hukum. Dalam kaitannya dengan permohonan pemohon di atas, terdapat 7 putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan pemohon dengan kodifikasi pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut: Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah (legal policy), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan yang diperintahkan Undang-Undang kepada Menteri
Keuangan hanya sebatas merinci yang telah tegas ditentukan dalam Undang Undang.

Baca juga:  Retribusi di Kintamani, Penelokan Didukung Jadi Jalur Khusus Pariwisata

Hal tersebut dimungkinkan oleh karena objek atau kegiatan dimaksud merupakan sesuatu yang berkembang. Sementara itu pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang cukup lama sehingga terkadang bahkan sering ketinggalan dari apa yang diaturnya. Untuk menutup celah demikian maka dalam hal terkait dengan perkembangan tersebut maka norma yang terdapat pada frase “jenis jasa lain” tersebut diperlukan. (vide Putusan MK Nomor 47/PUU-XII/2014); Bahwa tidak ada Undang-Undang yang secara khusus mengatur pungutan lain yang bersifat memaksa sehingga jika pungutan yang diperuntukkan untuk negara dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka akan banyak pungutan lain yang juga bertentangan dengan UUD 1945. (vide Putusan MK Nomor 25/PUUXII/2014); Bahwa pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang dapat dibenarkan (konstitusional) apabila memenuhi syarat, yaitu delegasi kewenangan tersebut berasal dari Undang-Undang dan pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang tidak bersifat mutlak, melainkan hanya merinci dari hal-hal yang telah diatur oleh Undang-Undang. (vide Putusan MK Nomor 12/PUU-XII/2014; dan 4/PUU-XIII/2015).

Baca juga:  Diplomasi Kebudayaan Indonesia Melalui Bali

Pertimbangan Mahkamah ini kemudian dapat dikaitkan dengan norma pungutan bagi wisatawan asing pada Pasal 8 ayat (3) UU Nomor 15 Tahun 2023. Pertama, pendelegasian wewenang untuk mengatur lebih lanjut pungutan bagi wisatawan asing ke dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (dalam hal ini adalah Peraturan Daerah) merupakan perintah Pasal 8 ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2023. Kedua, peraturan daerah yang kemudian dibuat hendaknya merinci dari hal-hal yang telah diatur oleh Undang-Undang
antara lain mengatur detil mengenai siapa yang dipungut (subjek), peristiwa apa yang dipungut (objek) serta berapa nilai pungutannya (tarif).

Mengenai hal ini, telah diterbitkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pungutan Bagi Wisatawan Asing untuk Pelindungan Kebudayaan dan Lingkungan Alam Bali. Ketiga, karena undang-undang hanya mengatur hal yang bersifat umum maka norma pungutan bagi wisatawan asing pada UU Nomor 15 Tahun 2023 juga bersifat umum.

Berlandaskan argumentasi di atas serta melihat pertimbangan Mahkamah pada kasus
serupa maka sepertinya tidak terdapat isu konstitusionalitas pada pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023.

Penulis, ASN Kementerian Keuangan

BAGIKAN