MANGUPURA, BALIPOST.com – Hasil subak di Bali tidak hanya pada padi semata, banyak turunan yang bisa dimodifikasi menjadi hasil produksi pertanian bermanfaat, salah satunya untuk pengobatan. Hasil produksi pertanian untuk pengobatan ini dipamerkan dalam kegiatan world Water Forum ke-10 yang terletak Museum Pasifika, ITDC, Nusa Dua, Selasa (21/5).
Salah satu pengolah produk pertanian Arak Rempah asal Gianyar, I Made Sidia mengatakan, produk pertanian di Bali sangat kaya manfaat. Tidak hanya padi, tapi juga temu-temu yang bisa dibuat menjadi obat.
‘Saat ini kami menampilkan arak rempah di kegiatan WWF ini. Kami difasilitasi oleh Dirjen Kebudayaan untuk memperkenalkan kekayaan hasil subak di Bali,” ujarnya.
Sidia yang juga seniman ini menceritakan, arak rempah ini sebenarnya sudah 40 tahun lebih dibuat oleh ayahnya. Sang ayah tahu bahwa rempah-rempah bebungkilan itu merupakan obat dari leluhur turun temurun, namun kini sudah semakin ditinggalkan dan tidak banyak yang mengetahuinya.
“Kemudian ada teman ayah saya dari pegunungan di daerah Tampaksiring menceritakan ada banyak tumbuhan temu-temu, dan ternyata baru ditelusuri ada 15 macam. Saat ini kan hanya terkenal temulawak. Yang masih saya ingat itu ada temu agung, temu tis, temu kunci, temu gongseng dan ada temu ireng yang saat dipotong agak kehitam-hitaman, serta temu poh. Itulah yang dikumpulkan oleh ayah saya dan ditaruh di sebuah gelas yang besar lalu dikasih arak. Semenjak minum arak itu, badan ayah saya segar dan kadang keluar keringat agak hitam. Jadi seolah-olah lemaknya itu dibakar oleh temu-temu tersebut,” ujarnya.
Saat dilihat di lontar usada, ternyata semua temu-temu tersebut ada fungsinya. “Awalnya ayah saya menyebut arak ini arak base atau arak temu-temu. Agar generasi muda lebih tertarik serta gampang mengingat, jadi saya sebut ini arak rempah paripurna, karena kebetulan saya dari sanggar bernama Paripurna,” paparnya.
Ia juga mengatakan, pernah beberapa teman ayahnya menawarkan membuat dengan campuran anak ikan, anak buaya, namun ditolak oleh ayahnya. “Ayah hanya konsen dengan arak temu-temu ini. Dan akhirnya temen-temen beliau semua minta. Sehingga ada salah satu dosen dari Unud melakukan penelitian dan dari hasil penelitian tersebut arak ini bisa mengobati sejumlah penyakit, lalu dikirim ke Jakarta dan mendapat penghargaan oleh Pak Harto (Soeharto, red) yang saat itu menjadi Presiden. Untuk itu saya sebagai anaknya harus terus melestarikan di Sanggar Paripurna,” ungkapnya.
Sadia juga menjelaskan cara pembuatan arak ini, mulai dari pembersihan hingga dipotong kecil-kecil sampai dijemur di matahari sekitar 1 minggu. “Namun ayah saya lagi melakukan eksperimen saat pemotongan temu tersebut hanya dipotong menjadi dua bagian saja serta dijemur hanya sehari saja. Dan, itulah yang ternyata lebih baik hasilnya. Bagusnya untuk perendaman minimal tiga bulan, itu baru enak untuk diminum dan reaksi arak obat ini lebih bagus,” ungkapnya.
Sementara Weti salah satu peracik rempah boreh yang ikut berpameran mengungkapkan, pihaknya memperkenalkan obat tradisional boreh ini, karena tidak banyak yang tahu dan menggunakannya. “Adapun bahan yang kami gunakan dalam pembuatan lulur boreh ini adalah pala, cengkeh, mesui, beras merah. Semua bahan ini diulek dihancurkan menjadi satu dan ditambahkan air sedikit. Fungsi lulur boreh ini untuk menghangatkan serta menyegarkan badan,” ungkapnya.
Rahasia boreh ini sudah turun temurun diwariskan. Ia menambahkan penggunaan boreh ini bisa dilakukan setiap hari di seluruh tubuh. (Dewa Sanjaya/balipost)