DENPASAR, BALIPOST.com – Bali saat ini mengalami permasalahan multidimensi tanpa ada solusi yang konkret. Tata ruang Bali sarat dengan eksploitasi yang kebablasan yang merusak tata ruang dan ekosistem Bali. Alam Bali akan semakin
cepat rusak jika pariwisatanya masih dikelola seperti saat ini. Hal itu terungkap pada Dialog Merah Putih Bali Era Baru di Warung Bali Coffee, Jl. Veteran 63, Selasa (21/5).
Pengamat ekonomi Viraguna Bagoes Oka mengatakan, salah satu dampak eksploitasi berlebihan adalah
terjadinya kelebihan fasilitas pariwisata. Makanya dia
getol menyuarakan saatnya dilakukan moratorium
fasilitas pariwisata. Hal ini telah lama diingatkan oleh berbagai pihak namun tak kunjung terealisasi. Hal itu
karena ekonomi Bali beberapa kali diselamatkan oleh
pariwisata.
Dia menegaskan, jika tidak dilakukan langkah-langkah untuk menyikapi kondisi ini, akan menyebabkan pariwisata Bali semakin terpuruk, alam Bali makin rusak. “Bali diserbu investasi dengan investor yang tidak terkendali,” ujarnya.
Wacana moratorium sudah puluhan tahun namun tidak bisa terwujud karena tidak terlepas dari iklim perpolitikan di Indonesia. Salah satunya yang paling utama adalah otonomi atau kewenangan pemda untuk mengelola daerahnya sudah kebablasan sampai ke tingkat kabupaten/kota madya.
“Seharusnya kan tingkat provinsi, spirit awalnya. Akibatnya komando yang terpadu sulit terwujud karena pemda bergerak sendiri sendiri, kurang mengedepankan prinsip prinsip pariwisata berkelanjutan berkesinambungan,” ujarnya.
Praktisi Pariwisata sekaliugus Ketua Asosiasi Agrowisata Indonesia Bagus Sudibya mengatakan, wacana moratorium memang beberapa kali telah disampaikan oleh para pakar, praktisi dan termasuk di lembaga pendidikan, dan sebagainya. Maksud dan tujuannya adalah agar dapat dihitung kembali dengan profesional terkait daya dukung Bali.
Cara penghitungannya adalah luas pulau Bali 5.600 km persegi dengan jumlah penduduk tetap 4,7 juta jiwa ditambah dengan kedatangan wisatawan baik mancanegara maupun domestik nusantara sehingga dapat dihitung termasuk fasilitas dan infrastruktur yang ada.
“Dalam hal melakukan moratorium itu kita akan jeda secara sejenak tetapi di dalam jeda itu, jeda untuk pembangunan. Sedangkan di sana dimulai dengan penghitungan, bagaimana kita menghitung sehingga ketemu formulasi yang jelas kira kira untuk Bali idealnya kita kedatangan wisatawan jumlahnya berapa, dengan lama tinggal berapa, jumlah kamar atau fasilitas pariwisata yang tersedia sehingga keluar angka ideal,” bebernya.
Penghitungan daya dukung Bali terhadap kedatangan orang juga perlu dilakuka terutama untuk masyarakat. “Jangan hanya pariwisata yang kebablasan masyarakat menjadi korban baik kenyamanan maupun keamanan. Jadi lakukan moratorium, hitung dengan pasti, dan turunkan dia dalam bentuk Perda yang nantinya harus diikuti dan dijalankan dengan tertib dan penuh tanggung jawab,” tandasnya.
Dengan dipungutnya Rp150 ribu per orang per kedatangan wisman akan terjadi akumulasi dana yang besar. Dana tersebut diharapkan digunakan secara terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara publik.
Dana PHR dikelola secara terpadu dan dibagi secara merata akan membawa kesejahteraan pada masyarakat Bali yang semakin berkeadilan. (Citta Maya/balipost)