TABANAN, BALIPOST.com – Utusan UNESCO mengatakan status Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Subak Jatiluwih berpotensi dicabut setelah fasilitas pariwisata mulai merambah. Para petani dan pengelola DTW Jatiluwih sudah berusaha menjaga agar alih fungsi
lahan tidak terjadi.
Namun karena telah mendapatkan izin pemerintah pusat, krama subak dan prajuru tak kuasa mencegah.
Pekaseh Subak Jatiluwih Wayan Mustra, menegaskan bahwa selama ini para petani di Subak Jatiluwih bersama dengan desa dan adat telah berkomitmen untuk menjaga dan melestarikan sawah serta budaya lokal ini. “Kami rutin mengadakan rapat bulanan untuk menyerap aspirasi petani dan menjalankan pertanian sesuai awig-awig,” ujarnya, Jumat (24/5).
Ia menyatakan keprihatinannya tentang adanya bangunan baru, misalnya saja yang ada di sebelah jembatan yang sudah beralih kepemilikan kepada pihak luar yang memiliki izin pusat. “Kami sudah melaporkan ke Pemda, tetapi mereka belum berani bertindak karena bangunan tersebut memiliki izin dari pusat,” jelasnya.
Mustra mengungkapkan kekhawatirannya dimana para petani yang sudah sangat sepakat menjaga kawasan tersebut justru nantinya dirusak oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab. Meski dikatakannya di subak sudah awig-awig, tapi secara hukum legal tidak kuat.
Pemda Tabanan harus punya regulasi khusus secara hukum menyetop alih fungsi lahan. “Kami berharap Pemda bisa membantu kami karena kami bertekad untuk mempertahankan status WBTB ini,” tambahnya.
Ia menyoroti pentingnya regulasi yang kuat untuk mencegah alih fungsi lahan, meskipun Subak sudah diatur oleh awig-awig. Mustra mengaku mulai ada gempuran pembangunan di kawasan WBD juga disoroti oleh UNESCO saat perhelatan World Water Forum. Terrmasuk, salah satu bangunan di tengah subak yang semipermanen jadi perhatian UNESCO.
Bendesa Jatiluwih Gede Ketut Januraga juga menyebut menjaga kelestarian subak Jatiluwih tidak bisa hanya mengadalkan krama, pemerintah harus berperan aktif.
“Kami ini sudah ada aturan bentuk pararem, namun tidak legal secara hukum. Sehingga pemerintah yang bisa menyetop pembangunan yang ada di sini,” ungkapnya.
Sementara itu, Manajer DTW Jatiluwih Ketut Purna, juga mengutarakan kekhawatirannya terkait potensi dicabutnya status WBTB dari UNESCO akibat pembangunan liar. “Bayangkan saja jika status WBTB
dicabut, ini akan berdampak besar, termasuk menurunnya jumlah wisatawan,” kata Purna.
Namun baginya peringatan ini bisa dijadikan pembelajaran untuk bisa diantisipasi lebih awal agar status masih tetap bisa dipertahankan. Termasuk ia mengatakan sudah ada rencana mengadakan audiensi
dengan Bupati Tabanan untuk membahas masalah bangunan liar ini sebelum pelaksanaan WWF ke-10, namun tertunda karena kesibukan menyambut kunjungan para delegasi.
“Setelah WWF ini kami berencana untuk segera bertemu lagi dengan pihak desa dan kabupaten guna membahas aturan yang lebih tegas untuk mencegah pembangunan baru di tengah sawah. Intinya, kita perlu memperkuat payung hukum,” pungkas Purna. (Puspawati/balipost)