DENPASAR, BALIPOST.com – Pariwisata Bali berkembang hanya mengejar kepentingan ekonomi dan mengedepankan kapital sehingga terlalu kapitalistik. Dampaknya banyak kerusakan yang dialami Bali.
Nilai-nilai budaya Bali sebagai fondasi penting mulai dilupakan bahkan diabaikan. Konsep pariwisata berkelanjutan hanya sekadar wacana pemanis bibir. Hal tersebut disampaikan Pengamat Pariwisata I Made Sulasa Jaya yang mengkritisi sikap Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Sandiaga Uno yang dinilai hanya berorientasi pada hasil ekonomi dan mengesampingkan dampak lingkungan dan sosial bagi penduduk yang tinggal di Bali.
“Goal pariwisata itu selalu berapa jumlah wisatawan
yang datang, berapa uang yang dikeluarkan wisatawan, kan itu saja. Pernah enggak berpikir bagaimana kualitas
pariwisata itu seharusnya. Sekarang yang berbicara tentang pariwisata Bali lebih banyak GIPI, itu semua kan
pengusaha di dalamnya, apakah semua pengusaha di GIPI sudah mau memikirkan nilai-nilai budaya kita, pengusaha pasti tidak berpikir demikian. Mereka berpikir, ngapain saya buang-buang uang untuk
memikirkan itu,” ungkapnya.
Sebagai contoh sikap yang terlalu kapitalistik adalah soal munculnya nama tempat New Moscow di Canggu. Menparekraf justru menganggapnya sebagai peluang
bagi Bali. “Istilah Balinya, biaya pariwisata saat ini “li-
unang kerirun”, sedikit untuk merawat pariwisata, Mas
menteri hanya melihat hasil ekonominya saja dan sangat kurang memperhatikan dampak dan berkelanjutannya,” ungkapnya.
Oleh karenanya konsep pariwisata berkelanjutan sudah tidak relevan lagi menjaga Bali. Menurutnya harus ada
kepedulian lebih tinggi terkait pertumbuhan ke semua arah secara seimbang, mendalam dan harmonis. Sulasa mengatakan, Bali perlu memikirkan regeneratif tourism yaitu pariwisata untuk pariwisata, bukan untuk yang lain. “Hasil dari pariwisata sepenuhnya digunakan untuk memperbaiki pariwisata,” ujarnya.
Konsep hasil pariwisata untuk memperbaiki pariwisata agar berkelanjutan, menurut Sulasa sudah mulai muncul namun tidak ditanggapi dan dilakukan secara lugas. Seperti pungutan Rp150 ribu yang belum jelas peruntukannya.
Pariwisata Bali perlu diremajakan, namun bukan berarti membuat tambahan fasilitas pariwisata. Tapi mengubah mindset pariwisata Bali menjadi pariwisata yang berkelanjutan.
Pola pola pariwisata lama harus dipotong dengan regenerasi dan tentunya berorientasi pada pariwisata masa depan. Karena ia melihat perkembangan pariwisata saat ini adalah merusak, bukan berkelanjutan.
Masalah pariwisata Bali, seperi kemacetan dan sampah sudah di depan mata. Hanya perlu political will untuk menyelesaikannya.
Ia pun mengkritisi soal kenaikan tarif parkir yang tidak seimbang dengan penataan parkir, seperti masih adanya parkir sembarangan, tidak adanya garis parkir yang jelas di Denpasar hingga menyebabkan kesemrawutan wajah kota. “Masalah kecil ini embrio
untuk kerusakan yang besar,” pungkasnya. (Citta Maya/balipost)