Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

“Kemajuan pariwisata menjadikan ekonomi Bali tumbuh lebih tinggi. Akibatnya, Bali diserbu penduduk pendatang (migran). Di samping soal perlunya penyediaan pangan yang lebih besar, angka kriminalitas yang tinggi menjadi dampak negatif dari serbuan para migran yang lebih banyak tidak berkualitas. Perlu pengawasan dan kontrol yang lebih ketat terhadap para migran agar dampak negatif dapat ditekan.” (balipost.com, 6 Mei 2024).

Itulah kondisi mutakhir saat ini, Bali yang tergolong pulau kecil, tak ubahnya seperti gadis mungil nan centil, mengundang banyak pendatang behasrat mecil (menjamah) mencari nafkah sampai berhasil. Mulai dari kehadiran kaum intelektuil (intelektual), turut juga masuk orang-orang tengil (tidak jelas), usil bin jahil hingga pelaku kriminil (kriminal). Menjadikan kondisi Bali kian dekil cuil, terkontaminasi berbagai ekses kehidupan yang semakin individualis, materialis, konsumeris bertendensi hedonis.

Sisi-sisi sosio-religis yang menjadi karakteristik masyarakat Bali berlandaskan tatanan filosofis dan tuntunan etis pun tampak kian terkikis, menuju krisis, nyaris ke titik kritis. Kabar terakhir, dan sepertinya berkesesuaian dengan gambaran Pulau Bali masa kini, bahkan akan menjadi label terbaru meski bermakna ganda, konon Bali hendak diproklamirkan sebagai Pulau Lengkap.

Baca juga:  Guru Penggerak, Sudahkah Bisa Menggerakkan?

Secara konotatif memang begitulah keadaannya, Pulau
Bali benar-benar lengkap, segalanya serba ada. Dari mereka yang mengangkat, melambungkan dan mengharumkan nama Pulau Dewata ini, hingga mengotori citra Bali belakangan ini.

Seperti temuan pabrik narkoba di Tibubeneng Badung yang melibatkan jaringan internasional, dan kasus pembunuhan keji dengan memasukkan mayat dalam koper di Kuta. Belum lagi catatan buruk yang belakangan kerap terjadi dan menjadi sorotan, seperti tindak kriminal lainnya, mulai dari perkelahian dan pengeroyokan dengan korban jiwa, pendatang etnis tertentu yang sering membuat keonaran, bertambahnya jumlah penderita gangguan jiwa dan kasus bunuh diri, tak terkecuali masalah klasik soal sampah dan kemacetan di daerah perkotaan, dan destinasi pariwisata yang tak kunjung menemukan solusi–deadlock.

Dalam lingkup lebih luas, tata ruang Bali pun kian menyesakkan akibat dieksploitasi kebablasan sehingga terus terdesak dinamika pembangunan infrastruktur, khususnya untuk fasilitas pariwisata. Alih fungsi lahan pun terjadi kian massif, terutama untuk kawasan pemukiman yang setiap tahun mencaplok ribuan hektar lahan produktif.

Baca juga:  Bergerak Mewujudkan Bali Era Baru

Percepatan pertambahan penduduk, termasuk kaum migran yang kian membeludak jelas membutuhkan tempat tinggal lebih luas. Baik dengan cara membeli rumah, mengontrak tanah, menyewa kamar, termasuk yang belakangan bikin heboh, munculnya nama New Moscow di peta wilayah Canggu yang ditengarai
sebagai “Kampung Rusia”.

Seolah terdapat negara dalam negara, yang kesemua itu jelas mengancam eksistensi dan kedaulatan Bali sebagai bagian integral negara kesatuan RI sekaligus sebagai daerah agraris, bukan metropolis. Mencermati fenomena, dinamika, realita dengan segala problematika di atas, sepertinya dari zudut pandang hukum alam (rta) perkembangan dan perubahan yang sedang terjadi, apapun bentuknya, tampaknya menggambarkan bahwa Pulau Bali kini dalam keadaan tidak baik-baik saja.

Sehingga untuk mengatakan Bali itu ajeg, tetap dalam kondisi terjaga, tanpa gangguan, tak tergoyahkan, sebagaimana adanya sejak masa lalu, merupakan kemustahilan, bukan keniscayaan. Awalnya memang bergerak evolutif, namun kemudian berkembang menjadi revolutif dengan akselerasi perubahan di berbagai sektor kehidupan secara drastis.

Baca juga:  IMF: Negara Berkembang dan Emerging Market Makin Berat

Wacana ajeg Bali yang dikonsepsikan sebagai suatu keadaan tak tersentuh arus perubahan, ternyata dalam konteks kekinian tak ada satupun aspek kehidupan bisa steril dari gerusan atau rongrongan perubahan.

Kenyataan ini sejalan adagium, bahwa yang abadi di dunia ini hanyalah perubahan dengan segala eksesnya.
Jika itu berekses positif, konstruktif dan produktif tentu tidak masalah.

Tapi ketika arus perubahan kekinian justru semakin mendekonstruksi kondisi alam dan jagat Bali sekaligus mendegradasi nilai-nilai kearifan lokal (sad kerthi), tentu menjadi ancaman besar dan serius bagi masyarakat (krama) Bali sebagai pewaris dan penerus ke-ajeg-an taksu Bali yang dikenal sebagai Pulau Kahyangan, Pulau Dewata atau Pulau Surga.

Menyedihkan sekali jika kemudian sanjungan Bali sebagai Pulau Surga justru terpleset menjadi surganya bagi segala fenomena yang menjatuhkan, merendahkan, bahkan menodai citra dan kharisma Bali. Sampai kemudian muncul sinisme bernada sarkasme dengan menyebut Bali sebagai Pulau Narkoba, Pulau Maksiat, Pulau Kriminal, dll., yang serba negatif. Nyata sudah beban Bali memang makin berat.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN