DENPASAR, BALIPOST.com – Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) adalah ancaman serius bagi ekonomi dan keamanan nasional. Risiko ini juga berpotensi terjadi pada penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (KUPVA BB).
Oleh karena itu, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali (KPw BI Provinsi Bali) melakukan beberapa langkah strategis untuk memperkuat penegakan program APU PPT (Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme) di Indonesia di Provinsi Bali.
“Kerjasama dengan Pemerintah Daerah, Otoritas terkait, dan Aparat Penegak Hukum (APH) terus dilakukan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap ekosistem keuangan yang lebih aman dan transparan baik bagi penyelenggara KUPVA BB maupun konsumen,” kata Erwin Soeriadimadja, Kepala KPw BI Bali, Jumat (24/5).
Beberapa strategi yang dilakukan antara lain melalui kegiatan sosialisasi dan edukasi yang berkelanjutan, optimalisasi pengawasan KUPVA BB, serta melalui pertukaran data dan informasi untuk memantau transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction).
Berbagai upaya tersebut membuahkan hasil, yang mana hasil penilaian TPPU berdasarkan area geografis atau provinsi pada SRA (Sectoral Risk Assessment) Bank Indonesia tahun 2021, Provinsi Bali tergolong sebagai wilayah berisiko rendah.
Penegakan hukum terhadap TPPU dan TPPT tetap menjadi perhatian karena potensi terjadinya tindak pidana tersebut akan selalu terbuka ke depannya. Menurutnya, peran industri sangat penting karena memiliki pemahaman yang mendalam tentang kegiatan operasional termasuk dalam mendeteksi pola-pola transaksi yang mencurigakan dengan lebih efektif.
Beberapa penguatan terhadap pemenuhan APU-PPT BB di Provinsi Bali membutuhkan peran aktif penyelenggara jasa keuangan termasuk pelaku KUPVA BB. Peran aktif Direksi dan Komisaris Penyelenggara KUPVA BB di Provinsi Bali secara umum telah menunjukkan komitmennya untuk terus mendorong penerapan APU-PPT seperti misalnya pembuatan SOP internal Perusahaan dan keikutsertaan dalam sosialisasi atau kegiatan yang terkait dengan program APU dan PPT.
“Namun demikian hal ini masih perlu didorong terus ke depannya mempertimbangkan semakin berkembangnya teknologi, kompleksnya ketentuan dan semakin beragamnya nasabah/konsumen yang dihadapi oleh penyelenggara,” ujarnya.
Pelaksanaan CDD (Customer Due Diligence) dan EDD (Enhanced Due Diligence) mencakup proses permintaan data nasabah baik yang sederhana sampai dengan pendalaman informasinya. Kedua hal ini adalah penting bagi Penyelenggara guna mengidentifikasi nasabah atau konsumen dan selanjutnya mengidentifikasi kewajaran transaksi nasabah.
Konektivitas data dengan Dukcapil juga perlu didorong lebih lanjut untuk mengoptimalkan pelaksanaan CDD dan EDD oleh penyelenggara. Kesadaran atas kewajiban pelaporan oleh penyelenggara masih perlu ditingkatkan ke depannya.
“Kami terus mengevaluasi dan memantau pelaksanaan program APU-PPT oleh KUPVA BB di Provinsi Bali. Harapannya ke depan industri KUPVA BB Bali dapat tumbuh menjadi industri yang sehat, aman
dan kompetitif. Untuk itu, koordinasi dan kolaborasi antar stakeholder dan lembaga yang terkait perlu terus didukung untuk secara bersama mengawal dan mendorong penegakan rezim APU-PPT dan PPSPM di Indonesia,” imbuhnya. (Citta Maya/balipost)