Penyarikan Desa Adat Batur, Guru Wayan Asta. (BP/ina)

BANGLI, BALIPOST.com – Prajuru Desa Adat Batur angkat bicara terkait adanya penolakan sejumlah warga terhadap proyek pembangunan taman wisata oleh PT Tanaya Pesona Batur (TPB) di kawasan wisata alam Gunung Batur, Bukit Payang Kintamani. Desa Adat Batur menilai tudingan telah merampas tempat hidup/tempat bertani masyarakat itu sedikit berlebihan.

Penyarikan Desa Adat Batur, Guru Wayan Asta mengatakan tidaklah benar telah telah terjadi perampasan hak hidup dan hak-hak lain, seperti yang disampaikan di media sosial. Pihaknya menilai itu sedikit berlebihan, mengingat lahan yang ditempati warga yang menolak proyek tersebut, sah berdasarkan peraturan yang berlaku adalah Kawasan hutan konservasi yang pengelolaanya diberikan kepada PT TPB dan bukan merupakan lahan pribadi.

“Kawasan atau tempat izin konsesi milik PT TPB yang dipersoalkan pada saat ini, memang benar kawasan tersebut adalah kawasan hutan konservasi. Yang mana sebelum dilakukan penetapan oleh pemerintah terkait, merupakan wewidangan Desa Batur. Jadi bukan merupakan hak milik pribadi/ perseorangan/oknum masyarakat. Sehingga jelas sekali bahwa masyarakat tidak memiliki hak secara keperdataan bahwa itu adalah tanah milik,” terang Guru Asta, Jumat (24/5).

Baca juga:  Dicanangkan 2022 Belum Terealisasi, Pemasangan PLTS di Gedung Perkantoran Pemkab Bangli Terkendala Ini

Dia pun menjelaskan singkat sejarah perpindahan penduduk Desa Adat Batur ke lokasi saat ini. Disampaikan bahwa Desa Adat Batur dulunya berlokasi di Kawasan lembah Gunung Batur dan tepi Danau Batur.

Akibat meletusnya Gunung Batur pada 3 Agustus 1926, lokasi Desa Batur dan beberapa pura habis tertimbun lahar panas, sehingga Desa Adat Batur rata dengan tanah. Setelah kejadian itu Desa Batur beserta beberapa puranya dipindahkan ke tempat yang baru (lokasi Desa dan pura saat ini) yang disebut Kalanganyar. Hal ini dipertegas oleh Raja Purana Pura ulun Danu Batur 49a.

Kemudian berdasarkan keputusan Dewan Raja nomor 28 sub B.c.3 dan 4 pada tanggal 29 Mei 1927, Kawasan Hutan di GBBP diusulkan Dewan Raja-Raja kepada pemerintah Hindia Belanda sebagai Kawasan Hutan. Selanjutnya pada tanggal 9 Agustus 1933 dilakukan pemancangan (pematokan) batas. Pada tanggal 15 Desember 1933 dilakukan pengukuhan batas, kemudian disahkan oleh inspektur kehutanan pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 19 Maret 1934 berlokasi di Bogor.

Baca juga:  Puluhan Desa di Kintamani Belum Terjangkau Layanan PDAM

Guru Asta mengaku pihaknya tidak mengetahui secara pasti, siapa saja, dari mana asal dan warga tersebut tinggal di kawasan hutan itu. Meski demikian pihaknya sudah sempat menjelaskan kepada warga yang menolak kehadiran PT TPB, bahwa mereka tidak akan diusir.

Sebagaimana informasi yang diterimanya dari BKSDA dan PT TPB, lahan garapan masyarakat itu sepenuhnya diganti atau direlokasi ke tempat yang telah disepakati dan dibuat sedemikian bagus. Mulai dari pemerataan tanah, setelah diratakan diatasnya diisi tanah subur, irigasi, pipanisasi serta akses yang sangat bagus untuk menunjang kinerja petani dalam beraktivitas. “Serta bagi gubuk-gubuk warga yang terlanjur terbangun, juga akan direlokasi yang kemudian akan dibentuk sedemikian rupa berupa tempat UMKM,” kata Guru Asta.

Baca juga:  Kintamani Ramai Didatangi, Masyarakat Dinilai Salah Kaprah dengan "New Normal"

Disampaikan juga bahwa Desa Adat Batur secara tertulis telah membuat surat rekomendasi dan pernyataan dukungan terkait proyek pembangunan taman wisata oleh PT TPB di kawasan wisata alam gunung Batur bukit payang Kintamani. Dengan catatan ada kesinambungan pembangunan, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pariwisata serta menyerap tenaga kerja Kintamani, khususnya Batur.

Sehingga secara tidak langsung akan membuat rantai kesejahteraan untuk masyarakat sekitar. “Kami Desa Adat Batur jelas dan tegas mendukung pengembangan wisata alam yang muaranya akan berdampak langsung kepada masyarakat/krama kami, baik dari segi pekerjaan, pendapatan dan kesejahteraan secara umum,” pungkasnya. (Dayu Swasrina/balipost)

BAGIKAN