DENPASAR, BALIPOST.com – Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Denpasar, Kamis (6/6), mendeportasi sejumlah WNA dengan berbagai persoalan. Kali ini, selain overstay ada juga WNA asal Tanzania yang diusir dari Bali karena melakukan praktik prostitusi dengan tarif Rp 1,5 juta perjam.
Dalam rilis Kemenkumham Bali, Jumat (7/6), disebutkan dalam dua hari terakhir, tiga Warga Negara Asing (WNA) di Bali telah dideportasi. WNA tersebut adalah DO (56) seorang pria WN Denmark dan dua wanita WN Tanzania SEK (34) dam AFM (29), yang terlibat dalam kasus overstay hingga prostitusi.
DO (56) terakhir kali masuk ke Indonesia pada 11 Juni 2023 melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta menggunakan Visa on Arrival (VOA), yang berlaku hingga 10 Juli 2023. Ia datang seorang diri untuk tujuan wisata dan mengaku ingin memulihkan kesehatannya selama di Indonesia. Namun, ia berada di Indonesia melebihi masa berlaku izin tinggalnya selama 10 bulan lebih.
DO mengatakan bahwa ia menyadari overstay sekitar seminggu setelah izin tinggalnya habis. Namun dia tidak segera meninggalkan Indonesia karena takut harus membayar denda yang ia tidak mampu. Akhirnya, DO memutuskan untuk tetap tinggal di Indonesia hingga memutuskan untuk kembali ke Denmark via Singapura melalui Bandara I Gusti Ngurah Rai pada 15 Mei 2024. Petugas imigrasi mendapati bahwa ia telah overstay selama 10 bulan lebih.
WNA lain berinisial SEK tiba di Indonesia pada 30 Maret 2024. Dia datang dari Tanzania dan transit di Dubai sebelum tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai menggunakan e-VOA. Izin tinggalnya berlaku hingga 28 April 2024. SEK mengaku datang untuk bertemu kekasihnya, seorang Warga Negara Jamaika yang tinggal di Bali. Saat diringkus oleh pihak Imigrasi Ngurah Rai, SEK telah tinggal melebihi izin tinggal selama 4 hari. SEK dianggap mengganggu ketertiban umum karena adanya pengaduan dari masyarakat terkait kegiatannya selama di Bali.
Penyelidikan tim intelijen menemukan bukti bahwa SEK menggunakan aplikasi Tinder dan WhatsApp pada ponselnya untuk menjajakan diri dengan tarif mulai dari Rp 1,5 juta per jam. SEK sempat mengelak atas bukti tersebut dengan alasan ponsel miliknya sempat digunakan oleh temannya.
Sedangkan AFM pertama kali datang ke Indonesia pada Juni 2023 dan terakhir kali masuk pada 8 April 2024 menggunakan Visa Kunjungan. AFM mengaku datang ke Indonesia untuk melengkapi dokumen kuliahnya di Malaysia.
Ia memilih tinggal di Indonesia karena biaya hidup lebih murah sambil menunggu persetujuan pergantian Visa Pelajar di Malaysia. Namun, AFM ditemukan menyalahgunakan izin tinggal yang diberikan di Indonesia dan melanggar aturan imigrasi. Menurut hasil penelusuran pihak yang berwenang, terdapat indikasi AFM terlibat dalam bisnis prostitusi dengan menjual dirinya melalui media online dan aplikasi aplikasi kencan seperti kasus pada SEK.
Sebelumnya untuk kedua WN Tanzania tersebut diamankan terpisah oleh Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai pada Operasi Jagratara awal Mei 2024 dan kepadanya telah ditetapkan telah melanggar Pasal 75 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian, bahwa, “Pejabat Imigrasi berwenang melakukan Tindakan Administratif Keimigrasian terhadap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati peraturan perundang-undangan” ucap Kepala Rudenim Denpasar, I Gede Dudy Duwita.
Namun karena pendeportasian belum dapat dilakukan segera keduanya diserahkan ke Rudenim Denpasar untuk diproses pendeportasiannya lebih lanjut.
Pada 4 Juni 2024 DO telah dideportasi ke Copenhagen, Denmark, sedangkan pada 5 Juni 2024 AFM dan SEK dideportasi ke Zanzibar, Tanzania. Ketiganya dikawal oleh petugas Rudenim Denpasar dan telah dimasukkan dalam daftar penangkalan Direktorat Jenderal Imigrasi.
Kepala Kanwil Kemenkumham Bali, Pramella Y. Pasaribu menerangkan bahwa pihaknya khususnya di imigrasi telah mengupayakan berbagai langkah yang diambil seperti Operasi Jagratara ini merupakan upaya proaktif dan preventif yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Imigrasi yang diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti “selalu waspada”, sikap yang dituntut dari petugas Intelijen dan Penindakan Keimigrasian (Inteldakim) pada unit pelaksana teknis (UPT) Imigrasi di seluruh Indonesia yang menjadi ujung tombak pengawasan keimigrasian terhadap aktivitas orang asing di sekitarnya. (Miasa/Balipost)